CEO Astra Agro Lestari Bicara soal “Memudahkan” Industri

- Jumat, 12 Februari 2021 | 10:53 WIB
CEO Astra Agro Lestari Santosa
CEO Astra Agro Lestari Santosa

Sejarah mencatat banyak komoditas Indonesia yang mendunia. Tapi, tak sedikit pula yang kini tinggal cerita.

NUR RAHMAN SAERONI, Balikpapan

ERA rempah-rempah, kejayaan lada, cengkeh, hingga karet, membuat nusantara dikenal banyak negara. Walaupun tidak benar-benar hilang, sebutan “mendunia” tampaknya tak lagi melekat pada komoditas-komoditas itu.

CEO Astra Agro Lestari Santosa memastikan, industri kelapa sawit telah belajar dari cerita-cerita tersebut. Dia tak menampik bahwa citra tanaman sawit sebagai industri konvensional masih melekat hingga hari ini. Setidaknya terlihat dari minat generasi muda yang memang lebih banyak kepada teknologi, ketimbang aktivitas seperti bercocok tanam.

“Kami bisa saja, misalnya, ikut membangun bisnis berbasis teknologi seperti start-up. Tapi belum tentu bisa bersaing dengan yang sudah ada. Lalu, kenapa teknologi itu kita terapkan pada industri kelapa sawit yang jadi bisnis utama saat ini,” sebut Santosa, dalam pertemuan virtual bertajuk Talk to The CEO, yang berlangsung pada Rabu (10/2).

Barangkali tak banyak yang tahu, bahwa inovasi terhadap teknologi telah dibangun Astra Agro Lestari sejak lebih dari satu dekade. Tapi, sebagai industri yang bersifat jangka panjang, hasilnya tentu tak instan. “Kelihatannya sudah lama. Tapi, perlu diingat bahwa sawit bukanlah industri yang hari ini kita kerjakan, besok terlihat hasil. Tidak begitu,” ucapnya.

Mengomandoi perusahaan sejak 2017 lalu, Santosa menyebut telah banyak riset dan pengembangan yang mereka jalankan. Salah satu yang masih berjalan hingga saat ini adalah penciptaan varietas bibit sawit baru. Yang diharapkan jadi lompatan untuk sustainability.

“Saya pernah mengirim tim ke pedalaman Kamerun untuk mencari varietas autentik dari tanaman sawit. Untuk kemudian kita kembangkan menjadi jenis bibit baru. Ini tentu melibatkan generasi yang melek dan suka dengan teknologi,” kata dia.

Santosa menggambarkan, riset saja memakan waktu bertahun-tahun. Setelah mendapatkan hasil, perlu waktu pula untuk memastikan kualitasnya. Belum lagi menyiapkan sumber daya manusia, membangun prasarana, dan lain-lain. “Lalu, anggaplah varietas baru itu kami hasilkan tahun ini, lalu ditanam. Sawit butuh paling cepat lima tahun baru bisa dipanen. Dan baru di usia 15 tahun baru mencapai puncak produksinya,” jelasnya.

Selain membangun upaya sustainability lewat penciptaan varietas bibit baru, aplikasi teknologi seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), optimalisasi big data, juga sudah menjadi bagian dari operasional industri. Bahkan, beberapa tahun belakangan, perusahaan membuka kemungkinan untuk menerapkan teknologi robotik.

Di samping lebih efisien secara jangka panjang, pengembangan inovasi juga menjadi bukti bahwa sawit bukan sekadar industri konvensional. Yang hanya identik dengan tanam, rawat, dan panen. Sehingga bagi generasi muda saat ini dan mendatang, industri ini tetap akan menarik. “Development itu adalah daya tarik bagi mereka. Selama baik untuk korporasi, kita akan akomodasi,” ungkapnya.

Pernyataan itu telah dibuktikan oleh Astra Agro Lestari dengan membangun sendiri aset sumber daya manusia. Yakni dengan mengakomodasi pendidikan untuk menghasilkan tenaga ahli di bidang industri sawit. “Bahkan sampai kami kuliahkan ke luar negeri. Ada yang magister, sampai doktoral. Utamanya di bidang riset dan pengembangan teknologi pertanian,” terangnya.

Dalam skala yang lebih sederhana, regenerasi terhadap SDM perkebunan diiringi dengan penerapan teknologi. Santosa mengumpamakan, proses basic seperti memanen dan merawat tanaman yang semula hanya mengandalkan tenaga manusia. “Kalau kami masih sekadar menggunakan otot untuk panen atau rawat, jangankan orang lain. Itu anak-anak dari tenaga pemanen dan perawat kebun sawit pun tidak mau jadi bagian dari kami,” ungkap dia.

Dalam perjalanan menghadirkan tenaga ahli dalam industri sawit, Astra Agro Lestari masih menjaga agar regenerasi melibatkan anak-anak bangsa. “Dulu di tahun-tahun awal, sempat kita karyakan tenaga ahli dari Malaysia. Tapi, sudah lama sampai sekarang kita 100 persen WNI,” tandasnya. (*/ndu/k15)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X