JAKARTA– Baterai listrik bakal menjadi industri potensial masa depan. Indonesia harus bisa memanfaatkan peluang tersebut untuk menguasai rantai pasok industri. Pada masa yang akan datang, permintaan terhadap baterai listrik terus berdatangan dari berbagai negara.
’’Indonesia punya potensi yang luar biasa. Dan ini merupakan momentum untuk bisa menguasai value chain dari hulu ke hilir untuk industri besar. The future is battery (baterai adalah masa depan),’’ papar Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pahala Mansury (2/2).
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketujuh dunia, menurut dia, Indonesia cukup kuat untuk membangun industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan baterai EV yang terintegrasi. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang cadangan nikelnya terbesar di dunia. Nikel adalah bahan baku utama baterai EV.
’’Ini yang ke depan perlu kita perhatikan. Jangan sampai kita memiliki sumber daya yang cukup, tapi tidak bisa memanfaatkan keunggulan yang kita miliki,’’ tegas Pahala.
Industri baterai EV bisa memberikan dampak signifikan bagi perekonomian nasional. Kontribusinya bisa mencapai USD 25 miliar atau setara dengan Rp 400 triliun pada 2027. ’’Pengaruh industri ini luar biasa. Pada 2027 nanti bisa mempekerjakan kurang lebih 23 ribu karyawan,’’ urainya.
Kementerian BUMN menargetkan pembentukan holding baterai EV rampung pada semester I tahun ini. Holding itu tersusun dari empat perusahaan. Yakni, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau MIND ID, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Pertamina (Persero), dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
’’Mudah-mudahan Indonesia battery corporation ini bisa segera menandatangani kerja sama dan mengembangkan joint venture dengan calon-calon mitra,’’ kata Pahala.
Sementara itu, pengamat energi Fabby Tumiwa menyatakan bahwa komponen utama EV adalah baterai, drive train, dan mesin listrik. Indonesia berpotensi masuk ke global supply chain baterai dan mesin listrik. ’’Karena kita memiliki cadangan nikel 30 persen dari cadangan dunia dan kobalt. Juga, material-material logam lain seperti mangan dan grafit yang dibuat dari batu bara,” bebernya.
Di sisi lain, EV bisa mengurangi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM). Nanti impor BBM juga bisa ditekan. Begitu pula defisit neraca transaksi berjalan. Namun, dampak itu baru terasa jika populasi kendaraan listrik sudah signifikan. ’’Kalau sedikit, ya dampaknya tidak akan terlihat,” ujar direktur eksekutif Institute for Essential Service Reformasi (IESR) itu.
Menurut Fabby, pemerintah cukup sigap untuk mengembangkan industri kendaraan listrik dan membangun rantai pasok kendaraan listrik yang terintegrasi. Mulai tambang, industri manufaktur baterai, manufaktur kendaraan, hingga permintaan serta infrastruktur pendukung. Sejauh ini upaya tersebut sangat mengandalkan BUMN pertambangan dan energi. (agf/han/c6/hep)