Wajah Asia Tenggara di Raya and the Last Dragon

- Kamis, 28 Januari 2021 | 11:55 WIB
Raya and the Last Dragon
Raya and the Last Dragon

Disney semakin gencar menyuarakan keberagaman budaya dan ras. Setelah menampilkan kulit hitam sebagai fokus di animasi Soul besutan Pixar, kini giliran Walt Disney Animation Studios. Film animasi Raya and the Last Dragon siap dirilis Maret mendatang dengan berfokus pada budaya Asia Tenggara.

 

SELASA malam (26/1), trailer Raya and the Last Dragon dirilis. Animasi besutan sutradara Don Hall dan Carlos Estrada itu berkisah tentang Raya (Kelly Marie Tran), pendekar penyendiri yang bertualang mencari pecahan permata naga. Tugas Raya berkaitan dengan bencana yang menimpa tempat tinggalnya di Kumandra, sebuah negeri antah-berantah berbentuk naga.

Untuk menemukan pecahan permata, Raya bertualang ke lima bagian Kumandra yang terpecah akibat perang dan bencana masa lalu. Dia ditemani Sisu (Awkwafina), naga terakhir yang dulu menyelamatkan dunia dari kehancuran. Selama perjalanan, Raya bertemu rekan baru dengan berbagai latar belakang.

Raya and the Last Dragon merupakan film animasi Disney pertama yang berfokus pada budaya Asia Tenggara. Produser Osnat Shurer menyampaikan keinginan timnya agar Disney bisa semakin merefleksikan keberagaman dunia. ’’Saat ide ini muncul, kami menilai budaya Asia Tenggara sangat menarik untuk dieksplorasi,’’ ujar Shurer dalam wawancara virtual bersama Jawa Pos akhir pekan lalu.

Di sisi lain, Kumandra merupakan jagat fantasi yang dibuat berdasar ketampakan alam, masyarakat, wajah, dan budaya Asia Tenggara. Kita akan melihat sungai, pedesaan, tanaman tropis, pola interaksi, pasar apung, dan candi-candi. ’’Jadi, tidak terpatok satu negara saja, melainkan perpaduan observasi kami di sejumlah negara,’’ jelas Adele Lim, anggota tim penulis cerita.

Agar bisa merepresentasikan budaya Asia Tenggara dengan cermat, tim melakukan observasi ke tujuh negara. Yakni, Kamboja, Laos, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Riset yang dilakukan pada 2019–2020 itu berlangsung selama 10 bulan dengan cara mengunjungi ketujuh negara dan bertemu masyarakat setempat.

Bahkan, ada anggota tim produksi yang asli Asia Tenggara. Selain Lim yang berasal dari Malaysia, ada pula penulis Qui Nguyen yang berdarah Vietnam dan Fawn Veerasunthorn yang asli Thailand.

Selain mengobservasi budaya, tim juga mengamati bentuk tubuh dan gestur orang Asia Tenggara untuk bisa mendesain karakter dan pergerakan mereka. Hal itu bisa dilihat dari sosok Raya yang berkulit sawo matang, berambut hitam, dan berwajah khas Asia Tenggara. ’’Kami ingin Raya menjadi sosok yang bisa mewakili orang Asia Tenggara. Sudah lama sekali kami ingin ada karakter seperti itu di Disney,’’ ungkap Nguyen.

Raya digambarkan sebagai pendekar alih-alih tuan putri. Dia jago bertarung, menggunakan pedang, dan berani mengarungi Kumandra bersama naga dan orang asing yang ditemuinya dalam perjalanan. Di sisi lain, dia selalu mengingat akar budayanya.

Fawn selaku head of story mengatakan, isu dan konflik utama Raya and the Last Dragon adalah kepercayaan. Raya dikhianati saat kecil dan itulah awal bencana bagi Kumandra. ’’Kini, Raya harus belajar percaya lagi jika ingin menyelamatkan Kumandra. Sebab, dia harus bertualang bersama orang asing,’’ papar Fawn.

Peran Sisu pun tak kalah penting. Sosoknya yang lucu, periang, naif, namun sempat minder seolah bertolak belakang dengan statusnya sebagai naga yang punya kuasa menyelamatkan dunia. ’’Yah, kita tidak harus selalu sempurna untuk menjadi sosok yang hebat, bukan?’’ ucap Awkwafina dalam keterangan tertulis yang diterima Jawa Pos.

Sisu bisa berubah bentuk menjadi manusia. Uniknya, wujud manusia Sisu sedikit banyak mirip dengan Awkwafina. Mulai cara berbicara hingga berekspresi. Hall selaku sutradara mengatakan, timnya juga merekam wajah Awkwafina saat proses dubbing. ’’Itu membantu para animator ketika membuat adegan animasi agar lebih hidup dan sesuai dengan karakternya,’’ terangnya.

Raya and the Last Dragon akan dirilis di bioskop dan Disney+ dengan akses premiere. Selain petualangan seru dan fantastis, film itu diharapkan menjadi pengingat keberagaman yang harus disikapi dengan bijak. ’’Perbedaan akan selalu ada. Tapi, kita harus tetap menjaga kebersamaan untuk kebaikan yang lebih besar. Semoga film ini bisa menjadi wadah dialog terkait hal itu,’’ imbuh Shurer. (len/c18/ayi)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puasa Pertama Tanpa Virgion

Minggu, 17 Maret 2024 | 20:29 WIB

Badarawuhi Bakal Melanglang Buana ke Amerika

Sabtu, 16 Maret 2024 | 12:02 WIB
X