Lubang tambang yang direklamasi dan masifnya pembukaan lahan untuk perkebunan sawit disebut menjadi ancaman bencana lingkungan bagi Paser.
Potensi bencana ekologis di Paser, harus disiapkan oleh pemerintah daerah penanggulangannya. Jangan sampai seperti banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel), begitu juga tanah longsor di Sumedang. Perlu ada pelajaran yang diambil dari bencana alam tersebut.
Kondisi di kedua daerah tersebut bukan sesuatu yang mustahil dapat terjadi di Paser. Tanda-tanda potensi bencana ekologis sudah mulai bermunculan jika melihat kondisi saat ini.
Pemerhati lingkungan Achmad Safari mengatakan hingga akhir 2020, lahan yang telah diberikan kepada pihak swasta dalam bentuk Ijin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 233.992,782 hektare dan Hak Guna Usaha Perkebunan (HGU) seluas 155.544,62 hektare.
“Peta lahan terbaru di pulau Kalimantan memberi informasi hilangnya hutan setiap tahunnya mulai dari tahun 2000 hingga 2017 karena ekspansi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp,” kata Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Paser itu, Selasa (26/1).
Ditambah lagi kondisi lahan di Paser yang berada di status kritis. Berdasarkan dokumen Rencana Program Investasi Jangka Menengah Kabupaten Paser Tahun 2017-2021, 8 dari 10 kecamatan termasuk wilayah rawan bencana banjir dan banjir arus deras. Kedelapan kecamatan tersebut adalah Tanah Grogot, Batu Engau, Batu Sopang, Long Ikis, Long Kali, Muara Komam, Muara Samu, dan Pasir Belengkong.
“Kecuali Tanah Grogot, maka tujuh kecamatan lainnya merupakan wilayah pertambangan dan perkebunan,” beber Safari.
Aktivitas pertambangan lanjut dia mengakibatkan areal hutan alam menjadi hilang. Berganti dengan hamparan lahan terbuka. Keadaan ini berdampak terhadap hilangnya kesuburan tanah, munculnya lubang bekas tambang (void) yang berisi air asam tambang, dan ketidakseimbangan ekologis.
Safari menyebut, saat ini sangat banyak lahan tambang di Paser dibiarkan tak direklamasi dengan baik, dan menyisakan lubang tambang yang penuh dengan air asamnya. Akibat adanya kadar asam yang tinggi maka lahan tidak lagi layak untuk digunakan sebagai lahan pertanian.
“Inilah potensi yang menyebabkan luas lahan kritis di Paser semakin meningkat,” jelasnya.
Aktivitas perkebunan kata Safari juga menyumbang potensi penambahan lahan kritis yang cukup besar. Budidaya monokultur, pemberian pupuk serta pestisida secara kontinu apalagi tidak tepat waktu, tidak tepat guna, dan tidak tepat aplikasi akan menyebabkan hilangnya kesuburan tanah serta lenyapnya habitat satwa liar.
Apalagi tanaman sawit memiliki sistem perakaran yang kurang kuat mengikat tanah, sehingga sangat rentan terjadinya erosi tanah, ditambah dengan faktor kemiringan tanah dan tidak adanya rekayasa untuk mengatasi limpasan air menyebabkan tanah subur pada bagian atas akan terkikis dan larut terbawa aliran air hujan.
“Perkebunan sawit juga rawan bencana longsor khususnya pada sawit yang ditanam di daerah bukit,” kata Safari.