PROKAL.CO,
SAMARINDA–Ismunandar, mantan bupati Kutai Timur (Kutim) periode 2015–2020, tak menepis adanya aliran uang dari Musyaffa dan Suriansyah alias Anto untuk membiayai operasionalnya berlaga di Pilkada Serentak 2020. Namun, dia baru mengetahui sumber pendanaan itu dari dua rekanan yang turut tersandung dalam operasi tangkap tangan KPK awal Juli 2020.
“Saya tahu kalau itu dari (rekanan) Aditya Maharani Yuono dan Deky Aryanto,” ungkapnya ketika bersaksi pada persidangan virtual di Pengadilan Tipikor Samarinda, (18/1). Guyuran uang dari dua rekanan bermula dari tawaran Musyaffa pada 2019, yang bersedia membantu pembiayaan Ismunandar mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) Kutim. Kata Ismunandar, tawaran Musyaffa yang kala itu menjabat kepala Badan Pendapatan Daerah Kutai Timur, disetujuinya mengingat dirinya memang perlu modal besar mencari partai pengusung.
“Tapi saya enggak tahu dari mana. Sepanjang 2020, saya tinggal sampaikan berapa yang dibutuhkan, terus Musyaffa yang transfer,” akunya. JPU KPK Ariawan dan Riniyanti pun menyentil soal pemberian Aditya Maharani pada November 2019 sebesar Rp 5 miliar. Untuk uang ini, kilah Ismunandar, tak terkait aliran uang dari Musyaffa. Kala itu, dia memiliki utang sebesar Rp 4,5 miliar yang harus dibayar sebelum akhir tahun. Dia memang meminta Musyaffa untuk mencarikan dana talangan membayar utang tersebut.
Asal uang pun baru diketahuinya berasal dari Aditya ketika si rekanan menagih uang itu ke dirinya pada Februari 2020. “Sempat tanya Musyaffa dan dibenarkan memang dari Aditya. Tapi uang yang saya terima hanya Rp 4,5 miliar, bukan Rp 5 miliar,” akunya. Jelang tahun politik butuh modal besar. Terlebih, APBD Kutim 2020 sudah diketok, dia pun menjanjikan ke Aditya piutang dibarter dengan proyek yang bakal dialokasikan pada 2021 ketika dia terpilih kembali sebagai bupati Kutim pada Pilkada Serentak 2020.
“Belum terbayar sampai sekarang,” imbuhnya. Soal adanya dana operasional bupati, wakil bupati, dan sekretaris kabupaten hingga adanya pemecahan proyek di Dinas Pendidikan menjadi pengadaan langsung dengan nominal di bawah Rp 200 juta, Ismunandar mengaku tak tahu secara detail mengapa bisa terjadi seperti itu. Memang, ketika rapat tim anggaran pemerintah daerah (TAPD), saat Musyaffa menjelaskan ada dana Rp 250 miliar, Ismunandar membantah jika itu ditujukan untuk operasional kepala daerah, wakil, dan sekretaris.
Menurut dia, dana itu diaturnya agar mengakomodasi program prioritas pembangunan kepala daerah yang tak terakomodasi dalam rapat bersama Badan Anggaran DPRD Kutai Timur nanti. “Saya tak pernah bilang itu untuk operasional. Hanya utama itu uang untuk program yang nanti tak terakomodasi di APBD. Jadi kalau ada program yang ternyata tak bisa masuk usulan pakai APBD, diplot pakai uang itu,” ulasnya.