PROKAL.CO,
JAKARTA Pos–Kasus diskualifikasi pasangan calon (paslon) yang ditetapkan sebagai peraih suara terbanyak menimbulkan persoalan di daerah. Yang terbaru, kasus terjadi di Kota Bandar Lampung. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setempat memutuskan untuk mendiskualifikasi paslon pemenang.
Sebelumnya kasus rekomendasi diskualifikasi setelah hasil pilkada diumumkan juga terjadi di sejumlah daerah. Selain di Bandar Lampung, rekomendasi ada di Tasikmalaya dan Nias Selatan. Hal itu menimbulkan kerumitan karena memunculkan proses hukum baru. Paslon yang didiskualifikasi mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA) seperti di Bandar Lampung. Padahal, proses sengketa perselisihan hasil pilkada (PHP) di Mahkamah Konstitusi (MK) juga berjalan.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Andalas Khairul Fahmi menyatakan, langkah Bawaslu memproses dan menangani perkara dugaan pelanggaran patut diapresiasi. ”Ini sebuah keberanian untuk melakukan penanganan pelanggaran,” ujarnya dalam diskusi daring yang digelar (11/1).
Namun, lanjut Fahmi, semestinya Bawaslu membatasi diri dalam mengambil sebuah keputusan. Dia menilai, keputusan Bawaslu di beberapa daerah yang menganulir paslon yang dinyatakan unggul sudah melampaui kewenangannya.
Dalam pandangan Fahmi, kewenangan Bawaslu hanya membatalkan surat keputusan (SK) penetapan paslon. Itu dapat dilakukan sebelum hasil pilkada ditetapkan. Sementara membatalkan SK hasil penghitungan suara merupakan ranah MK.
”Kalau ada pelanggaran TSM, Bawaslu cukup menyampaikan ada pelanggaran,” imbuhnya. Nanti bukti dan pendapat Bawaslu dapat disampaikan ke persidangan di MK. Dengan demikian, keputusan Bawaslu tidak memunculkan problem hukum baru.