PROKAL.CO,
JAKARTA– Maraknya praktik politik uang (money politics) dalam pilkada 2020 makin terkonfirmasi. Selain kasus yang ditangani Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), fakta tersebut juga terungkap dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang digelar pada 11–14 Desember 2020.
Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menyatakan, praktik politik uang sudah bisa diprediksi sejak jauh hari. Salah satu faktornya adalah tingkat ekonomi masyarakat yang melemah. Kendati angka yang terpotret tidak terlampau tinggi. ”Tidak terjadi ledakan money politics meskipun kasusnya masih ada,” ujarnya dalam rilis survei yang digelar secara daring kemarin (10/1).
Data LSI mencatat, jumlah masyarakat yang mengaku mendapat tawaran sebesar 16,9 persen. Jumlah tersebut jauh di bawah responden yang mengaku tidak ditawari sebesar 78,9 persen. Sementara sisanya (4,2 persen) memilih tidak menjawab.
Meski demikian, efektivitas politik uang masih ada. Dari responden yang menerima tawaran, 36,3 persen mengaku pemberian memengaruhi pilihan mereka di bilik suara. Sementara mayoritas (50,8 persen) mengaku tidak memengaruhi pilihannya.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, jumlah politik uang di lapangan bisa saja jauh lebih besar. Pasalnya, secara psikologis, tidak mudah bagi masyarakat mengakuinya. Sebab, politik uang adalah pelanggaran. ”Tidak mudah menangkap perilaku politik yang secara sosial dianggap tabu,” ujarnya.
Indikasi tersebut, lanjut Burhanuddin, tampak dalam pertanyaan lain yang diajukan LSI. Saat ditanya apakah melihat tetangganya ditawari politik uang, misalnya, angkanya jauh lebih tinggi, yakni 20 persen. Bahkan, saat ditanya pengalaman di pemilihan sebelumnya, angka yang mengakui mencapai 30 persen.