Stigma “Sakit Jiwa” Bisa Picu Tindakan Brutal

- Sabtu, 9 Januari 2021 | 12:56 WIB
KESEHATAN: Direktur RSJD Atma Husada Mahakam Jaya Mualimin diwawancarai media ini di kantornya.
KESEHATAN: Direktur RSJD Atma Husada Mahakam Jaya Mualimin diwawancarai media ini di kantornya.

SAMARINDA–Tindakan brutal yang dilakukan Juliadi (39) menarik perhatian masyarakat Kota Tepian. Pria yang diduga mengidap skizofrenia tersebut menghabisi nyawa La Iroji (61), tetangganya.

Setelah menghabisi nyawa tetangganya menggunakan kapak, tersangka Juliadi langsung diringkus Polsek Sungai Pinang. Lantaran diduga masih mengidap skizofrenia, observasi kejiwaan harus dijalani selama 14 hari.

Dikonfirmasi soal penyakit kejiwaan ini, Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam Jaya Mualimin menjelaskan, tindakan brutal yang dilakukan bisa disebabkan dari berbagai hal. Meskipun sebelumnya sudah pernah mendapatkan perawatan atau sedang menjalani rawat jalan.

Biasanya, dipengaruhi dengan hubungan keluarga yang kurang harmonis, tidak mendapat perhatian, dan pengobatan yang tidak teratur. Stigma buruk dari masyarakat tentang orang dalam gangguan kejiwaan (ODGJ) hingga adanya penyakit bawaan bisa memperburuk proses penyembuhan.

Tentunya, kata dia, itu semua akan membuat pengidap skizofrenia merasa dikucilkan, membebani pikiran hingga emosi yang meningkat. Kalau emosinya sudah terpicu, muncul halusinasi.

Nah halusinasi ini yang bisa menyebabkan jika ada orang yang ngajak kelahi, merasa terancam dan lain sebagainya, jadi bisa saja yang ada di dekatnya bisa kena masalah,” terangnya.

Jaya tak memungkiri jika dalam proses perawatan terkadang harus memakan waktu yang lama. Sehingga, para pengidap skizofrenia yang telah dikembalikan ke pihak keluarganya harus tetap melakukan rawat jalan. Setidaknya sebulan sekali untuk pengobatan.

“Tapi tergantung kalau misalnya dia (pengidap skizofrenia) kalau misalnya ada kambuh mesti dirawat. Kambuh itu meliputi jika mengamuk, kemudian lakukan tindakan kekerasan. Itu indikasi membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Bisa bahaya itu,” imbuhnya.

Pemulangan pengidap skizofrenia pun tak bisa semata-mata hanya melihat tingkat emosional. Beberapa taraf kesehatan lainnya juga menjadi bahan pertimbangan.

“Ukurannya apa? Contoh kecil misalnya, jika ditanya bagaimana hari ini, tidurnya jam berapa, jawabannya nyambung. Tidak ada mengalami mimpi menyeramkan, tidak mengalami halusinasi, interaksinya juga bagus. Kemudian itu juga harus dipantau kembali selama seminggu sebelum dipulangkan,” jelasnya.

Pemulangan juga harus direncanakan. Selain pengidap penyakit gangguan kejiwaan dinyatakan telah siap, pihak keluarganya akan diberikan pemahaman khusus. Hal itu karena pihak keluarga menjadi salah satu faktor yang dapat membuat pengidap skizofrenia dapat pulih.

“Artinya selain kontrol soal pengobatan, juga pembinaan terhadap keluarganya. Kita juga yang sebagai orang normal harus punya kesadaran. Jangan ada stigma negatif juga,” tukasnya. (*/dad/kri/k8)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X