Bambang Iswanto
Dosen Institut Agama Islam Negeri Samarinda
TERDAPAT kesamaan antara Gisel dan vaksin Covid-19. Keduanya menjadi trending topic dalam waktu yang relatif lama. Kesamaan lainnya keduanya menjadi “terdakwa” oleh para “hakim” dunia maya sebelum diputuskan oleh pihak yang berwenang.
Kasus video 19 detik sudah sejak awal menjadikan Gisel sebagai tersangka pemainnya. Para pakar telematika seakan berlomba untuk membuat analisis jitu tentang siapa yang menjadi aktor dan aktris film yang menayangkan adegan yang hanya halal dilakukan oleh suami-istri. Muncul angka-angka persentase kemiripan yang terlihat sangat detail satuan angkanya.
Analisis dilakukan bukan atas permintaan resmi dari lembaga yang berkompeten untuk melakukan pencarian kebenaran sebuah fakta. Tapi hanya datang dari kalangan industri infotainment yang memang tugasnya mencari berita-berita sensasional.
Akibatnya, banyak masyarakat yang sudah tergiring lebih dulu oleh opini dari analisis para telematika sebelum ada pernyataan resmi dari pihak yang berwajib ataupun pengakuan dari yang bersangkutan.
Sementara itu, vaksin Covid-19 yang bernama vaksin Sinovac, salah satu jenis vaksin dari beberapa vaksin yang masuk ke Indonesia, juga menjadi tersangka sebagai barang haram oleh para “mufti” dunia maya.
Ada orang yang hanya dengan melihat keterangan tulisan pada kemasan atau label vaksin yang masih perlu analisis secara mendalam, sudah berani memfatwakan bahwa vaksin yang sedang mengalami masa uji tersebut adalah haram digunakan.
Tulisan “Only for Clinical Trial” pada label kemasan langsung diterjemahkan sebagai vaksin yang akan dicarikan kelinci percobaannya pada manusia. Padahal, kemasan tersebut hanya sebagai sampel saja sebelum barang kiriman lanjutannya dikirim dan tidak berlabel seperti itu lagi.
Lebih parah, orang yang tidak pernah melihat seperti apa bentuk dan rupa vaksin serta hanya mendengar dari informasi yang masih berupa “katanya” juga berani memberikan fatwa bahwa vaksin haram.
Ironisnya, fatwa mufti dunia maya beredar luas di tengah ijtihad keras para pejuang medis untuk menemukan vaksin dari virus yang masih mewabah. Jangankan mendukung upaya mengatasi Covid-19, mereka justru melakukan hal yang kontra dengan semangat dan niat baik para pejuang vaksin.
Mereka menggantikan peran dari lembaga yang memiliki otoritas untuk menentukan halal dan tidaknya sebuah produk termasuk vaksin. Lembaga pemeriksa halal seperti memiliki alat dan teknologi yang bisa mendeteksi kehalalan sebuah obat dan mereka juga mengandalkan para pakar dari multi-disiplin ilmu. Seperti para ahli fikih, ahli makanan, dan lain-lain yang secara berjamaah menganalisis secara komprehensif sebelum memutuskan kehalalan makanan atau obat.