Harap Pemerintah Intervensi Polemik Kedelai

- Kamis, 7 Januari 2021 | 09:32 WIB

JAKARTA- Kenaikan harga kedelai di level global ikut mengerek harga tahu dan tempe di pedagang pasar dan konsumen. Sebagai komoditas yang 90 persen bergantung pada impor, pedagang tak punya pilihan selain mengikuti kenaikan harga, agar tak merugi. Pemerintah diharapkan bisa segera melakukan intervensi baik menjaga tren harga sebagai strategi jangka pendek dan mendorong produksi kedelai lokal untuk strategi jangka panjang.

Toni, 39 tahun, salah satu pedagang di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, merasakan dilematis akibat kenaikan harga tempe dan tahu dari pemasok. Perempuan asal Purbalingga tersebut biasanya menjual tempe seharga Rp 5.000 per biji dan tahu Rp 2.000 per biji. Namun, karena harga dari pemasok naik sekitar 30 persen, dia terpaksa harus ikut menaikkan harga jualnya ke konsumen menjadi sekitar Rp 7.000 per biji untuk tempe dan Rp 2.500 per biji untuk tahu.

Akibatnya, tak sedikit konsumen yang komplain dengan kenaikan harga tersebut. Sebagian konsumen, khususnya yang biasa membeli dalam jumlah banyak, disebut Toni mengurungkan niatnya untuk membeli. ”Ini tahu dan tempe tiga hari lalu stoknya sempat kosong. Tidak ada barangnya. Katanya pengrajin-nya lagi demo. Mulai Senin lalu (tahu dan tempe, red) sudah ada lagi, tapi datang lebih sedikit dari biasanya dan harga naik,” ujar Toni, pada Jawa Pos.

Tak hanya pedagang di pasar tradisional, pengusaha gorengan yang biasa mengandalkan tempe dan tahu di ”etalase” jualannya juga merasakan dampak. Asep, 26 tahun, salah satu penjual gorengan di sekitar Ciledug, Jakarta Selatan, terpaksa harus menyesuaikan ukuran produk gorengan tempe dan tahunya, agar tetap dapat dijual dengan harga Rp 1.000 per biji. ”Harga (tempe dan tahu, red) di pasar naik, kalau tidak dikurangi porsinya bisa rugi. Tapi syukur peminatnya tetap ada karena tahu tempe paling dicari,” ujarnya.

Ketua Bidang Organisasi DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Muhammad Ainun Najib mengatakan bahwa kenaikan harga kedelai yang berujung pada naiknya harga tahu dan tempe di pasar harus segera mendapatkan perhatian dari pemerintah. ”Kemendag harus mampu mengintervensi importir untuk mengucurkan stok yang dimilikinya dengan harga yang sama,” ujar Ainun.

Pedagang mengaku memahami penjelasan pemerintah bahwa harga kedelai di level global, khususnya per Desember, terpantau meningkat. Sebelumnya, Kemendag membeberkan bahwa pembeli kedelai AS terbesar dengan porsi hingga 60 persen yakni Tiongkok, menaikkan pembelian pada periode 2020/2021. Tiongkok menjadi pembeli kedelai Amerika Serikat (AS) sebanyak 58 persen dari total ekspor kedelai AS hingga 10 Desember 2020.

Total penjualan ekspor kumulatif kedelai AS 2020/2021, menurut laporan itu, telah mencapai 53,8 juta ton. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan periode 2019/2020, yakni 18,8 juta ton. Karena kuatnya permintaan, harga kedelai ditutup di atas USD 12 dollar per gantang (27,2 kilogram) pada 17 Desember. Angka itu menjadi yang tertinggi sejak Juni 2014.

Sekretaris Jenderal Kemendag Suhanto menambahkan bahwa dampak lain lonjakan permintaan dari Tiongkok ke AS adalah jumlah kontainer di beberapa pelabuhan AS yang berkurang. Karena kontainernya berkurang, maka pasokan ke negara-negara importir selain Tiongkok terhambat, termasuk ke Indonesia. ”Semakin rumit karena importasi Amerika Serikat tidak diimbangi dengan kegiatan ekspornya. Sehingga mengakibatkan peti kemas eks impor tertahan di negara itu dan terjadi kelangkaan peti kemas secara global,” jelasnya.

Terlepas dari isu di atas, pedagang meminta Kemendag mampu mendisiplinkan distribusi stok kedelai yang saat ini diklaim ada sekitar 450.000 ton di gudang importir. Kemendag menyebut bahwa stok tersebut cukup untuk industri tahu dan tempe dalam 2-3 bulan mendatang. ”Tapi fakta di lapangan menunjukkan importir memberlakukan harga kedelai yang sudah naik kepada para perajin, bukan harga berdasarkan pembelian sebelumnya. Kalau stok yang dimiliki sudah di impor dari tahun lalu, terus diberlakukan harga yang sekarang itu namanya tidak adil,” keluh Ainun.

Ikappi pun meminta Kemendag tegas mengintervensi importir agar stok yang dimiliki tersebut bisa dijual dengan harga lama, bukan harga terkini. "Dengan demikian, maka stok dua bulan yang akan datang harusnya tidak mempengaruhi harga kenaikan internasional masih menggunakan harga yang lama,” pungkasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi XI Anis Byarwati menyebut, kenaikan harga kedelai menjadi catatan merah di awal tahun. Hal itu tentu membuat para produsen tahu dan tempe cemas. Tidak sedikit dari mereka melakukan mogok produksi. Imbasnya, Tahu dan tempe menjadi langka. Harganya pun ikut meroket di pasaran. "Padahal tahu dan tempe adalah makanan pokok setelah nasi bagi masyarakat Indonesia," kata Anis kepada Jawa Pos.

Menurut dia, ada beberapa catatan penyebab naiknya harga kedelai. Pertama, data adalah faktor utama yang menjadi masalah. Indonesia sebagai negara agraris, namun sektor pertaniannya tidak berkembang. Bahkan terus mundur. Salah satunya karena kebijakan pangan nasional yang tidak didasarkan pada data yang kuat dan mengikat semua pemangku kepentingan.
Berdasarkan data The Food and Agriculture Organization (FAO), harga rata-rata kedelai pada Desember 2020 tercatat USD 461 per ton. Angka tersebut naik 6 persen dibanding bulan sebelumnya sebesar USD 435 per ton. Kenaikan harga kedelai dunia itu lantaran lonjakan permintaan kedelai dari Tiongkok kepada Amerika Serikat (AS), selaku eksportir kedelai terbesar dunia. "Desember 2020, permintaan kedelai oleh Tiongkok naik dua kali lipat. Yaitu dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton," ucap politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.

Catatan kedua, Anis mendorong pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai lokal dan pengendalian impor. Itu menjadi peluang sekaligus tantangan untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri. Mengingat, pemerintah masih kesulitan menggenjot produksi kedelai dalam negeri.

Faktanya, Kementerian Pertanian sempat menarget produksi kedelai bisa mencapai 2,8 juta ton pada 2019. Jumlah tersebut untuk memenuhi kebutuhan yang diperkirakan mencapai 4,4 juta ton. Namun, hingga Oktober 2019 realisasinya baru 480 ribu ton. Hanya 16,4 persen dari target. Begitu pula 2018, dari target 2,2 juta ton produksi kedelai cuma 982.598 ton.
"Sebagaimana kita tahu bahwa kondisi petani kedelai terlibas oleh kebijakan pasar bebas tahun 1995. Awalnya produksi lokal bisa memenuhi 70 sampai 75 persen kebutuhan kedelai, tetapi saat ini terbalik karena sekitar 70 sampai 75 persen kini dari impor," ungkap alumnus doktoral Universitas Airlangga itu.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Transaksi SPKLU Naik Lima Kali Lipat

Jumat, 19 April 2024 | 10:45 WIB

Pusat Data Tingkatkan Permintaan Kawasan Industri

Jumat, 19 April 2024 | 09:55 WIB

Suzuki Indonesia Recall 448 Unit Jimny 3-Door

Jumat, 19 April 2024 | 08:49 WIB

Libur Idulfitri Dongkrak Kinerja Kafe-Restoran

Kamis, 18 April 2024 | 10:30 WIB

Harga CPO Naik Ikut Mengerek Sawit

Kamis, 18 April 2024 | 07:55 WIB
X