Optimistis Perbaikan Harga Sawit Akan Berlanjut

- Rabu, 6 Januari 2021 | 09:27 WIB
ilustrasi
ilustrasi

Peningkatan harga CPO yang terjadi sekarang membuktikan penurunan TBS beberapa bulan lalu merupakan hal wajar, termasuk fluktuasi harga bulanan.

 

SELAIN minyak bumi, gas, dan penggalian, peran kelapa sawit dalam mendongkrak ekonomi Kaltim juga dalam perhatian. Mengingat sektor tersebut sangat resisten terhadap kebijakan negara lain. Sejauh ini, Kawasan Industri Maloy di Kutai Timur dan Kariangau di Balikpapan dirasa belum memberikan efek turunan dalam rangka melakukan downstream ke upstream sumber daya alam Kaltim. “Setidaknya pembangunan B100 di Teluk Bontang ada sedikit keberanian memulai hilirisasi sawit. Ini hal bagus sebagai entry point dan ada hilirisasi produk crude palm oil (CPO) lainnya,” kata Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Aji Sofyan Effendi.

Menurut dia, produk turunan CPO punya potensi besar untuk diekspor. Apalagi Uni Eropa sudah membuka keran impor CPO setelah sebelumnya mem-blacklist karena kampanye isu lingkungan.  Karena itu, Aji Sofyan menilai ekonomi Kaltim tetap tumbuh meski tidak melejit di tengah pandemi. Terpisah, anggota Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Arif Purwoko mengklaim, semua unsur yang terlibat akan mendapatkan keuntungan. Dirinya meyakinkan, di tengah anomali bisnis pertambangan dan turunannya saat ini, perkebunan paling realistis menjadi alternatif.

Bahkan pada November 2020 lalu, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terus menunjukkan penguatan. Dua bulan lalu, TBS per kilogramnya dihargai Rp 1.856. Ini merupakan titik tertinggi sepanjang 2020 setelah awal 2019 berada di level Rp 1.787 per kilogram. Peningkatan TBS ini masih disebabkan oleh membaiknya harga crude palm oil (CPO) global. Menurutnya, peningkatan ini disebabkan oleh harga CPO yang terus melejit. Sebab, CPO jadi salah satu indikator yang digunakan untuk mengatur harga TBS di tingkat petani. Jika CPO menurun, TBS pasti mengikuti. Begitu pun sebaliknya. “Peningkatan yang terjadi sekarang membuktikan penurunan TBS beberapa bulan lalu merupakan hal wajar, termasuk fluktuasi harga bulanan,” tuturnya.

Terpisah, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Muhammadsjah Djafar mengatakan, di bulan-bulan terakhir 2020, harga minyak sawit mentah (PO) meroket tinggi. Bahkan menjadi harga tertinggi yang dimiliki minyak sawit enam tahun terakhir. Harga referensi CPO saat ini sebesar USD 870,77 per ton pada Desember. Harga tersebut meningkat dibandingkan harga rata-rata bulan sebelumnya yang mencapai USD 656-738 per metrik ton. “Perbaikan harga sudah mulai terjadi sejak triwulan ketiga 2020 dan akan berlanjut,” jelasnya.

Dia mengungkapkan, permintaan ekspor saat ini juga mulai pulih. Memasuki kuartal III 2020 permintaan pasar kembali normal, didukung oleh pemulihan ekonomi yang terjadi setelah Covid-19 terutama di Tiongkok dan India. “Tingginya permintaan CPO akan berdampak besar terhadap harga CPO yang berujung pada peningkatan harga TBS di tingkat petani,” katanya. Sementara itu, akademisi hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah mengatakan, jika melakukan kajian kembali terhadap UU Cipta Kerja, sektor perkebunan sebenarnya sudah mau diambil alih kewenangannya oleh pemerintah pusat. Dia mencontohkan, dalam Pasal 42 Ayat 2 di halaman 150 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan jelas diterangkan bahwa kegiatan usaha budi daya tanaman, misalnya perkebunan dan atau usaha pengolahan hasil perkebunan itu hanya bisa dilakukan setelah mendapat hak atas tanah dan pemenuhan perizinan terkait perkebunan dari pemerintah pusat.

Artinya soal status tanah dan lain sebagainya yang diatur dalam regulasi tersebut akan menjadi kendala yang mutlak dari pemerintah pusat. Tidak ada lagi kemudian level pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur terkait perizinan itu. “Menurut saya klir dan eksplisit disebutkan di dalam UU Cipta Kerja. Jadi, menurut saya pribadi, perkebunan akan senasib juga dengan pertambangan,” sebut dia.  Selain itu, masih ada 49 peraturan pemerintah (PP) dan 5 peraturan presiden (perpres) yang dibuat pemerintah pusat. Sebagai tindak lanjut dari UU Ciptaker. Keseluruhan regulasi tersebut, ucap dia, akan mengatur secara teknis. Perihal kewenangan pemerintah daerah yang sedikit demi sedikit akan ditarik ke pemerintah pusat. “Saya justru heran, kenapa pemerintah daerah termasuk Pemprov Kaltim,, kalau boleh saya mengkritik tidak bereaksi terhadap hal itu. Karena kalau berbicara implikasi ekonomi, dampaknya akan sangat luar biasa,” terangnya.

Masalah lain mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kaltim 2019-2023 akan terkena dampak dari UU Ciptaker. Dia menyebut, Pemprov Kaltim selalu mengampanyekan RPJMD Kaltim 2019-2023 yang berisi tiga hal prioritas. Salah satunya ketahanan ekonomi dengan empercepat transformasi ekonomi atau hilirisasi. Baik di bidang perkebunan maupun pertambangan. “Pertanyaannya adalah kalau kewenangan itu ditarik ke pusat, bagaimana mungkin prioritas pertama itu bisa terpenuhi,” ungkapnya. (kip/riz/k16)

 

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X