Sembilan tahun kasus tenggelamnya anak-anak tewas di lubang tambang tak kunjung selesai. Penyelidikan yang dilakukan hanya berjalan di tempat. Tak banyak yang membuahkan hasil.
SAMARINDA–Dari 16 kasus anak meninggal di kolam bekas kerukan “emas hitam”, satu kasus yang sampai ke meja hijau. Sisanya masih mengambang.
Kasus meninggalnya anak di lubang tambang terakhir terjadi di Jalan P Suryanata, Gang Saka, Kecamatan Samarinda Ulu. Sejatinya, di kejadian tersebut, jajaran Polsek Samarinda Ulu sudah pernah mengajukan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) pada 2 Juli 2019. Terlapor dalam perkara tersebut merupakan warga sekitar, yakni Armain dan Abidin Yansyah. Mereka juga mengakui aktivitas terselubung tersebut. Anehnya, korps berseragam cokelat tak menentukan siapa yang harus bertanggung jawab. Lubang bekas galian tambang itu berstatus tidak resmi, alias ilegal. Lantaran lokasinya berada di konsesi milik PT Insani Bara Perkasa (IBP), yang disebut perusahaan sudah melakukan backfill (penutupan lubang).
Kasus meninggalnya para penerus bangsa di lubang tambang itu mencuri perhatian publik. Termasuk Herdiansyah Hamzah, pengamat hukum sekaligus dosen di Universitas Mulawarman (Unmul).
Pria yang akrab disapa Castro itu menuturkan, jika SPDP sudah dikeluarkan, seharusnya peristiwa pidanaya telah terkonfirmasi. Proses itu untuk menemukan tersangka tindak pidana dalam peristiwa hilangnya nyawa manusia di bekas lubang tambang tersebut.
"Artinya, memang benar ada tindak pidana dalam peristiwa yang diselidiki. Tinggal bagaimana penyidik mencari serta mengumpulkan bukti, sehingga membuat terang tindak pidana yang terjadi," katanya.
Namun, kasus meninggalnya anak di lubang tambang itu dibuat menggantung. Aparat penegak hukum juga tak pernah memberikan penjelasan secara detail sejauh mana proses hukum serta kendala yang dihadapi dalam penyelidikan. Bahkan cenderung tertutup dan belum transparan.
"Dalam beberapa kasus, malah yang mengemuka adalah alasan yang tidak rasional. Semisal kasus tidak dilanjutkan karena korban sudah diberikan tali asih oleh perusahaan, orangtua korban sudah membuat surat pernyataan tidak menggugat, hingga alasan korban adalah penyandang disabilitas. Jelas alasan itu konyol dan makin mengoyak rasa keadilan publik, terutama keluarga korban. Baik tali asih maupun surat pernyataan orangtua korban, tidak membuat pidananya terhapus. Proses hukum mestinya tetap lanjut," terangnya.
Melihat tak ada perubahan penanganan kasus tersebut, Castro menilai, tidak ada keseriusan pemecahan kasus yang ditangani. Ia juga mempertanyakan tingkat profesionalitas kepolisian. Bahkan dirinya menilai kasus yang berlarut-larut itu mengindikasikan kepolisian akan mengajukan surat pemberhentian penyidikan perkara (SP3).
"Itu bukan sekadar soal ketidakseriusan, tetapi kalau kasusnya terlunta-lunta alias tidak ditangani serius, mengindikasikan akan dikeluarkannya SP3. Sementara satu sisi, kepolisian belum terbuka dan transparan ke publik, apa sesungguhnya masalah sehingga kasus tidak ditangani. Enggak salah publik kalau akhirnya berkesimpulan pemerintah bersama aparat penegak hukum lebih tunduk kepada para pemodal dibanding rasa keadilan publik," ucapnya.
Sebelumnya, Kapolresta Samarinda Kombes Pol Arif Budiman mengatakan, masih melanjutkan penyelidikan terkait kasus tenggelam anak di lubang tambang. Belum usainya pengungkapan kasus tersebut lantaran belum cukup alat bukti. "Untuk melanjutkan kasus (lubang tambang) itu harus ada alat bukti. Nanti saya cek lagi. Kalau 2020 tidak ada (kasus lubang tambang), tapi 2019 ke bawah yang banyak. Banyak juga di wilayah lain, tapi kalau di Samarinda akan saya cek lagi. Saya mohon waktu," katanya. (*/dad/dra/k16)