Mereka menerapkan konsep menghargai waktu yang ditulis dalam Al-Qur’an yaitu “Faidzaa faraghta fanshab”(Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain). Tidak pernah ada waktu kosong bagi mereka. Transisi kekosongan selalu diisi dengan menghasilkan karya dan nilai manfaat.
Perintah Allah di atas, contoh dari Rasulullah SAW dan sahabat diwarisi oleh para ulama dalam mengisi waktu dan hidup mereka. Tidak mengherankan lahir karya-karya hebat dari para ulama yang sampai kepada generasi selanjutnya.
Di antara ulama yang mendedikasikan hidup dan waktunya untuk berkarya dan beribadah adalah Ibnu Taimiyah. Beliau meninggal pada usia 57 tahun dengan karya tulis sekitar 500 jilid. Ketika sakit, dokter menyarankan banyak istirahat agar cepat sembuh. Bukannya beristirahat banyak, justru beliau banyak membaca dan menulis. Ibnu Taimiyah mendebat dokter, “bukankah diri seseorang akan menguat jika dia bahagia?”
Ucapan ini diiyakan dokter. Ibnu Taimiyah melanjutkan ucapannya, “aku bahagia dengan ilmu, maka aku menjadi semangat”. Dokternya mengatakan, ini di luar kebiasaan kami mengobati pasien.
Al-Hafizh al-Mundziri telah menulis banyak kitab, terdapat 90 jilid dan 700 juz di luar karangannya. Tetangganya memberikan testimoni bahwa setiap malam di rumah al-Mundziri selalu terpancar cahaya lentera yang mengisyaratkan ia dengan buku-buku dan belajar. Bahkan disebutkan, saat makan pun, di hadapannya ada buku.
Ibnu al-Jauzi menyusun lebih dari 500 judul kitab, dengan jumlah jilid yang fantastis; 2.000. Ulama lain, Ibnu al-Wardi mencoba mengalkulasi, jika karya Ibnu al-Jauzi dibagi dengan umurnya, rata-rata per hari dia menulis sembilan buku.