Begitu juga peran suami istri. Dia mengatakan, selama ini suami diidentikkan dengan sosok pencari nafkah atau uang. Padahal perempuan juga bisa di zaman sekarang. Urusan rumah juga bisa dikerjakan bersama dan bukan melulu tanggung jawab ibu.
“Ini rumah bareng, ini anak bareng. Ya bareng-bareng mengurusnya. Tidak ada istilah ini ranahku, ini ranahmu sebagai suami,” imbuh dia. Begitu juga pola asuh anak. Selama Rina bisa membersamai anaknya untuk bermain, dia maksimalkan untuk itu. Pun ketika ada deadline pekerjaan, sebaik mungkin dia jelaskan kepada sang anak.
“Ya tidak serta-merta dia paham dan menerima. Pasti dia kecewa, ya kan mikirnya mau main sama papah, sama maminya. Tapi malah sibuk. Saya berusaha untuk menempatkan, jika pekerjaan bisa ditunda, ya saya lakukan. Menjadi orangtua itu harus banyak berkorban. Termasuk waktu istirahat saya berkurang misal,” lanjut Rina.
Dia meyakini ketika memilih jalan sebagai ibu pekerja, itu konsekuensi yang harus dia bayar. Rina berusaha maksimal meluangkan waktu khususnya pada masa-masa pertumbuhan kedua anaknya yang masih di bawah lima tahun. “Mereka tumbuh besar, itu proses yang tidak bisa terulang,” ujarnya.
Anak adalah prioritasnya. Karier diyakini Rina akan tetap berjalan. Termasuk selektif hingga saat ini tidak memakai asisten rumah tangga (ART). Mengurus anak dari bayi dia lakukan sambil bekerja.
Jadi, tak jarang pemandangan Rina membawa sang buah hati turut ke kampus menemaninya bekerja. Selain itu, dia tidak memasang target tinggi. Misal keadaan rumah harus selalu bersih, makanan harus tersedia.