Insomnia Lara

- Senin, 21 Desember 2020 | 10:56 WIB

Sebulan ini tidur menjadi ritual yang begitu resah. Dekapan dan belaian hangat Isha, suamiku, hanya mampu menenangkan sejenak. Setelahnya aku hanya akan bermimpi dalam sadar. Sekali-kali bila resah itu kian menggelayut dan tak tertahankan, aku akan mengambil air wudu lebih awal dan bersujud dalam keheningan hingga terlelap di atas sajadah.

Tak jarang Isha juga protes sebelum berangkat kerja. “Hanum sayang, tidurlah di kasur bersamaku. Bagaimana bisa aku membiarkan istriku tertidur di lantai sementara aku begitu nyenyak di kasur yang empuk?” Senyumku merekah. Aku tahu ia lah yang selalu membopongku kembali ke kasur.

“Apa dekapanku kurang hangat?”

Sebagai jawaban atas pertanyaan itu aku pun memeluk dan mengecupnya.

***

Malam esoknya, aku kembali terjaga. Dari jendela kamar, aku pun menjenguk ke arah cahaya temaram. Di luar masih pekat dengan keheningan. Sepertiku, pijar lampu kota masih terjaga dari kejauhan. Tenggarong mungkin hanya kota tua yang bergelimang dengan tuak sejarah. Sejarah yang tak dihadiahi rasa takzim dan penghargaan dari manusianya. Namun bagiku, Tenggarong adalah cinta, jarak, air mata, dan jajak cincin.

Denting pesan instan di ponsel mengembalikanku dari lamunan. Biasanya pesan broadcast yang dikirim secara acak itu muncul ketika hari mulai cerah. Manusia macam apa yang mengirimkan pesan siaran sepagi ini?

Layar ponsel kuusap. Nama ‘Lara-11 IPA 7’ mencuat sebagai satu-satunya pengirim pesan. Lara salah seorang siswa di kelasku. Dia anak yang lemah lembut sekaligus seorang remaja lelaki sanguinis tulen. Penikmat hidup terbaik barangkali. Suaranya selalu menghibur lewat lagu cover yang dia bawakan dari channel YouTube maupun podcast. Bisa dibilang dia artisnya kelas binaanku--11 IPA 7. Aneh bila ia menghubungiku selarut ini.

Itu adalah sebuah pesan video. Kuputar sambil mengatur volume agar tidak membangunkan Isha.

“Bu Hanum,” ia terlihat begitu gelisah.

“Aku sudah tak tahan lagi. Hal ini harus aku sampaikan padamu.”

“Sudah sebulan ini aku tak bisa tidur dengan nyenyak Bu. Aku selalu bermimpi dengan mata nyalang. Aku ingin memberi tahu Ibu tentang hal ini, tapi… sebentar,” ia terdiam sejenak.

“Sebenarnya ini berkaitan dengan penangkap mimpi hasil prakarya milik Ibu yang hilang di kelas waktu itu. Penangkap mimpi itu bukan hilang. Akulah yang mengambilnya Bu. Mungkin ibu bertanya-tanya kenapa aku mengambilnya.”

“Di kelas kita pernah berdiskusi tentang suku Ojibwe yang dijaga oleh seorang perempuan laba-laba, Abikaashi. Abikaashi menurut legenda akan menjaga mimpi baik orang yang memiliki tanda miliknya, yaitu penangkap mimpi.”

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X