Awasi Tangan Besi Pusat dengan Perda

- Sabtu, 19 Desember 2020 | 22:00 WIB
ilustrasi
ilustrasi

Sentralisasi urusan tambang batu bara berpotensi berdampak buruk terhadap tata kelola pertambangan di daerah. Belum diurus pusat saja, pengawasan pemda terhadap aktivitas pertambangan sudah bikin meringis.

 

BALIKPAPAN–Kewenangan daerah yang hilang dikhawatirkan berisiko terhadap lemahnya pengawasan kegiatan pertambangan batu bara. Selain berpotensi memunculkan lubang-lubang baru bekas galian, daerah juga terancam kehilangan dana bagi hasil royalti batu bara. Persoalan itu kini bergulir di DPRD Kaltim. Muncul wacana untuk mengerem tangan besi pusat dengan mengeluarkan peraturan daerah (perda).

Untuk diketahui, per 11 Desember 2020, perizinan urusan tambang secara resmi tak lagi ditangani pemerintah provinsi. Semua urusan pertambangan, akan ditangani pusat. Setidaknya ada tujuh kewenangan pemprov yang diambil alih Kementerian ESDM. Seperti pelayanan pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral dan batu bara. Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan terhadap pemegang perizinan mineral dan batu bara. Pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), mineral logam dan batu bara. Kemudian, pemberian persetujuan rencana kerja anggaran dan biaya tahunan (RKAB).

Terkait kebijakan itu, Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM telah meminta gubernur di seluruh Indonesia, agar menyerahkan data izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi dan IUP operasi produksi. Selanjutnya, menyerahkan laporan lengkap eksplorasi, laporan studi kelayakan dan persetujuannya, dokumen lingkungan, rencana reklamasi dan persetujuannya, termasuk rencana pasca-tambang dan jaminan reklamasi. Dikonfirmasi terkait dampak peraturan baru ini, Komisi III DPRD Kaltim yang turut membidangi pertambangan dan energi memberikan respon mengenai penerbitan perda yang mengatur royalti batu bara.

Anggota Komisi III DPRD Kaltim Harun Alrasyid mengatakan, jika perda tersebut menguntungkan Kaltim, pihaknya tentu siap untuk menyusun regulasi itu. Tentunya dengan meminta masukan dari stakeholder dan ahli di bidangnya. “Kita buat studi akademisnya dan draf perdanya. Nanti bisa jadi inisiatif DPRD,” kata dia saat dihubungi Kaltim Post, kemarin (18/12). Menurut dia, usulan pembentukan rancangan perda (raperda) royalti batu bara tak perlu menunggu adanya peraturan pemerintah (PP) turunan UU Ciptaker, yang ditargetkan akan diterbitkan pada awal tahun depan.

Harun mengungkakan, antisipasi terhadap hilangnya triliunan pendapatan daerah karena sentralisasi urusan tambang, perlu dilakukan mulai sekarang. “Tentunya perlu diantisipasi dan proaktif, tidak menunggu!” tegas ketua DPW PKS Kaltim itu. Anggota DPRD Kaltim dari dapil Bontang, Kutim, dan Berau ini menjanjikan pembahasan mengenai raperda tersebut, akan dilaksanakan bersama Pemprov Kaltim di awal 2021 mendatang. “Januari, insyaallah!” katanya. Anggota Komisi III DPRD Kaltim lainnya, Muhammad Adam mengatakan, Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) DPRD Kaltim dalam rapat kerja (raker) November 2020 lalu belum memasukkan raperda tentang royalti batu bara dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Promperda) tahun depan.

Hal itu disebabkan kebijakan itu baru diberlakukan Desember 2020. Di mana Propemperda akan menginventarisasi rancangan peraturan daerah (raperda) yang menjadi prioritas pada 2021. “Tapi, ini akan menjadi bahan masukan untuk Bapemperda dan kawan-kawan di Komisi III yang membidangi pertambangan. Termasuk Komisi II yang membidangi perusahaan, ekonomi dan keuangan,” kata Adam yang tercatat sebagai salah satu anggota Bapemperda.

Politikus Hanura itu menilai, usulan raperda royalti batu bara bisa saja dibahas pada awal tahun depan. Jika dianggap mendesak, DPRD Kaltim dapat segera menyusun draf raperdanya. “Nanti kita diskusikan dengan pemprov. Apakah menjadi raperda inisiatif DPRD atau usulan pemprov,” ucap dia. Anggota DPRD Kaltim dari dapil Balikpapan ini menuturkan, sebelum menyusun naskah akademik raperda royalti batu bara, pihaknya sambil menunggu terbitnya PP turunan Pasal 39 UU Ciptaker.

Hal ini untuk memastikan kebenaran kebijakan pemberian royalti batu bara sebesar 0 persen. Sehingga berpotensi menghilangkan pendapatan daerah dengan proyeksi sekitar Rp 2,3 triliun. “Jadi kita menunggu PP-nya. Apa benar royalti akan jadi 0? Saya kira hanya proses perizinan yang ditarik ke pusat. Dan itu yang akan kita cermati. Sejauh mana efeknya kepada penerimaan Kaltim,” bebernya. Anggota DPRD Kaltim lainnya, Syafruddin mengatakan, saat ini parlemen belum membahas lebih terperinci mengenai usulan pembentukan raperda royalti batu bara.

 “Nanti dibahas dulu di internal DPRD, ya. Soalnya sudah masuk tutup tahun. Jadi belum efektif untuk dibahas. Dan menunggu awal tahun saja. Biar lebih konsentrasi dan sungguh-sungguh,” ucapnya.

Pemerintah daerah dan DPRD Kaltim diminta untuk membuat peraturan daerah (perda) untuk membentengi triliunan rupiah yang akan hilang karena kebijakan baru tersebut. Kebijakan itu diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menerangkan pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara bisa mendapatkan pengenaan royalti hingga 0 persen. Di mana ketentuan lebih jelas, akan dituangkan dalam peraturan pemerintah (PP). Karena itu, pemerintah daerah dan DPRD diminta untuk perda yang mengatur mengenai masalah royalti batu bara tersebut.

                Sebelumnya, ekonom Universitas Mulawarman (Unmul) Aji Sofyan Effendi menyatakan, persoalan bagi Kaltim bukanlah masalah perizinan yang diambil alih pemerintah pusat. Akan tetapi, royalti batu bara yang diturunkan menjadi 0 persen. Sehingga dianggap menguntungkan perusahaan tambang. “Jadi isu sentralnya bukan masalah perizinan yang ditarik ke pemerintah pusat. Tapi royalti batu bara yang jadi 0 persen. Maka 2021 potensi DBH royalti batu bara yang tercatat Rp 2,3 triliun bisa menjadi 0 rupiah,” kata dia.

Kebijakan tersebut termuat dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal tersebut menyebutkan pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara bisa mendapatkan pengenaan royalti hingga 0 persen. Nantinya ketentuan tersebut akan diterangkan lebih jelas dalam peraturan pemerintah. Menurut Aji, kebijakan tersebut memberikan dampak positif bagi pengusaha pertambangan. Akan tetapi, justru berdampak negatif bagi pemerintah daerah. “Sementara kehancuran lingkungan ditanggung warga Kaltim,” kritiknya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X