PROKAL.CO,
KOALISI gemuk bukan jaminan bisa unggul telak di pesta demokrasi. Pemandangan itu sementara terjadi di dua daerah di Kaltim yang menggelar Pilkada Serentak 2020, 9 Desember lalu. Yakni Kutai Timur (Kutim) dan Bontang. Di Pilkada Kutim, pasangan Mahyunadi-Lulu Kinsu yang diusung Golkar, PKB, NasDem, PAN, PDIP dan Gerindra, dengan total 23 kursi parlemen, untuk sementara perolehan suaranya tertinggal.
Dikutip dari laman pilkada2020.kpu.go.id (11/12) sekira pukul 19.57 Wita, pasangan tersebut berada di posisi kedua dengan persentase perolehan suara sementara 36,4 persen. Di posisi teratas, milik pasangan Ardiansyah Sulaiman-Kasmidi Bulang. Calon bupati dan wakil bupati Kutim itu diusung PKS, Demokrat, dan Berkarya dengan jumlah delapan kursi di parlemen. Hingga kemarin, persentase perolehan suara Ardiansyah Sulaiman-Kasmidi Bulang mencapai 47,1 persen.
Di Bontang, koalisi gemuk untuk sementara juga tumbang. Pasangan nomor urut 02, Neni Moerniaeni-Joni yang diusung delapan parpol parlemen, untuk sementara perolehan suaranya tertinggal. Padahal, pasangan calon wali kota dan wakil wali kota ini diusung Golkar, NasDem, Gerindra, PKS, Hanura, PAN, Berkarya, dan PPP dengan total 20 kursi. Ditambah lima parpol non-parlemen. Yakni Demokrat, PSI, Perindo, PKPI, dan Garuda.
Sementara itu, lawannya, Basri Rase-Najirah hanya diusung oleh dua parpol. Yaitu PDI Perjuangan dan PKB dengan jumlah lima kursi. Meskipun sedikit, tetapi itu sudah memenuhi ketentuan dari KPU. Pengamat politik Universitas Mulawarman (Unmul) Lutfi Wahyudi mengatakan, fenomena ini bersifat insidental. Sebab, tidak dapat diambil kesimpulan bahwa gerbong besar akan kalah di Pilkada Bontang 2020.
“Saya kurang yakin dengan faktor demikian yang terjadi,” kata Lutfi. Menurutnya, besar-tidaknya atau banyak-kecilnya parpol memang tidak menjamin akan memenangkan pertempuran di pesta demokrasi. Dikarenakan dukungan parpol ialah tiket untuk memenuhi persyaratan saat pencalonan. “Kesuksesan selanjutnya berkenaan dengan individu dari paslon itu sendiri,” ucapnya.
Pun dipastikan, hasil pileg tidak dapat menjadi acuan dengan pilkada. Tetapi sering terjadi di pelbagai daerah bahwa pilihan partai politik untuk mendukung paslon tertentu tidak linier dengan pilihan masyarakat terhadap calon kepala daerahnya.