PROKAL.CO,
Basis pemilih terbesar pada Pilkada Serentak 2020 di Kaltim merupakan masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah.
SAMARINDA–Pilkada Serentak 2020 berjalan beriringan dengan pagebluk yang tak kunjung mereda. Kebijakan pencegahan dan penanggulangan pandemi Covid-19, sejauh ini, nyatanya ambigu dengan penambahan kasus terkonfirmasi yang rutin menanjak. Kampanye para kandidat kepala daerah sudah berakhir. Kini, kuasa berada di tangan warga yang terdaftar sebagai pemilih pada 9 Desember 2020.
Situasi pandemi yang absurd ini diprediksi bakal memengaruhi ke mana pilihan para swing voters (massa mengambang) dan undecided voters (belum memiliki pilihan). “Kondisi Covid-19 cukup menentukan. Terlebih ketika dua massa jenis itu berujung pragmatis karena berangkat dari kondisi ekonomi,” ucap pengamat politik asal Universitas Mulawarman Luthfi Wahyudi, kemarin (6/12). Memang, faktor yang memengaruhi pilihan dua jenis massa itu tak hanya berkutat ekonomis. Namun, basis pemilih terbesar dalam pilkada di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota se-Indonesia merupakan masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah.
Faktor apa yang membuat pemilih berada dalam status tersebut sangat menentukan seperti apa wajah demokrasi kini. Mengetahui anasir mengapa pemilih berada dalam posisi tersebut memudahkan dalam membaca sejauh mana potensi politik uang tercipta. “Dua status masa (swing dan undecided voters) ini lumrah dalam pemilu. Besaran persentase keduanya memberi ruang hadirnya money politics,” tuturnya.
Pemilih mengambang, sebut dia, jelas sudah memiliki pilihan untuk menggunakan hak suaranya tapi dengan keyakinan yang belum 100 persen. Kegamangan itu mudah luluh lewat pemberian materi untuk mengonversi suara.
Beda cerita dengan yang belum memiliki pilihan atau undecided voter. Pemilih dalam status ini biasanya cenderung menentukan pilihan di detik-detik terakhir. Undecided selalu menggunakan berangkat dari pertimbangan ke mana pilihan diberikan, bisa dari hal rasional, perasaan, konversi suara dalam bentuk materi. “Mereka ini vote buying, makanya persentase mereka menentukan politik uang. Semakin besar jumlah dua massa ini semakin lebar itu terjadi,” katanya. Pragmatisme pemilih dan perilaku kandidat pun bertautan. Karena pembelian suara itu tak melulu harus memilih si pemberi materi.