Jelang Pencoblosan, Pemilih Masih Gamang

- Selasa, 8 Desember 2020 | 12:03 WIB
ilustrasi
ilustrasi

Basis pemilih terbesar pada Pilkada Serentak 2020 di Kaltim merupakan masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah.

SAMARINDA–Pilkada Serentak 2020 berjalan beriringan dengan pagebluk yang tak kunjung mereda. Kebijakan pencegahan dan penanggulangan pandemi Covid-19, sejauh ini, nyatanya ambigu dengan penambahan kasus terkonfirmasi yang rutin menanjak. Kampanye para kandidat kepala daerah sudah berakhir. Kini, kuasa berada di tangan warga yang terdaftar sebagai pemilih pada 9 Desember 2020.

Situasi pandemi yang absurd ini diprediksi bakal memengaruhi ke mana pilihan para swing voters (massa mengambang) dan undecided voters  (belum memiliki pilihan). “Kondisi Covid-19 cukup menentukan. Terlebih ketika dua massa jenis itu berujung pragmatis karena berangkat dari kondisi ekonomi,” ucap pengamat politik asal Universitas Mulawarman Luthfi Wahyudi, kemarin (6/12). Memang, faktor yang memengaruhi pilihan dua jenis massa itu tak hanya berkutat ekonomis. Namun, basis pemilih terbesar dalam pilkada di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota se-Indonesia merupakan masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah.

Faktor apa yang membuat pemilih berada dalam status tersebut sangat menentukan seperti apa wajah demokrasi kini. Mengetahui anasir mengapa pemilih berada dalam posisi tersebut memudahkan dalam membaca sejauh mana potensi politik uang tercipta. “Dua status masa (swing dan undecided voters) ini lumrah dalam pemilu. Besaran persentase keduanya memberi ruang hadirnya money politics,” tuturnya.

Pemilih mengambang, sebut dia, jelas sudah memiliki pilihan untuk menggunakan hak suaranya tapi dengan keyakinan yang belum 100 persen. Kegamangan itu mudah luluh lewat pemberian materi untuk mengonversi suara.

Beda cerita dengan yang belum memiliki pilihan atau undecided voter. Pemilih dalam status ini biasanya cenderung menentukan pilihan di detik-detik terakhir. Undecided selalu menggunakan berangkat dari pertimbangan ke mana pilihan diberikan, bisa dari hal rasional, perasaan, konversi suara dalam bentuk materi. “Mereka ini vote buying, makanya persentase mereka menentukan politik uang. Semakin besar jumlah dua massa ini semakin lebar itu terjadi,” katanya. Pragmatisme pemilih dan perilaku kandidat pun bertautan. Karena pembelian suara itu tak melulu harus memilih si pemberi materi.

 

Ada dua opsi lain, membeli suara agar pemilih golput atau membeli suara agar pemilih tak memilih kandidat tertentu. Pilkada yang bergandengan dengan pandemi, nyatanya memberi kesempatan bagi kandidat dan lingkarannya kian menumbuhsuburkan politik uang. Alasannya, sebut Luthfi, biaya kampanye di pilkada kali ini bisa ditekan karena minim pertemuan besar dengan pembiayaan besar.

Dengan begitu, dana yang terkumpul untuk pembiayaan motor politik bisa maksimal dialihkan ke hari pencoblosan. “Potensi itu selalu ada, Kolektif paslon atau oligarki pendukungnya pasti memanfaatkan celah massa yang melemah karena pandemi ini,” nilainya.

Pandemi Covid-19, menurut dia, punya peran untuk mengendalikan medan politik yang ada. Terlebih ketika terdapat pemilih, dari dua jenis basis massa ini, yang menggunakan hak suara menilai biaya besar perhelatan pun tak berbanding lurus dengan perubahan yang terjadi.

Ditengah protokol kesehatan yang masih diragukan, pemerintah justru terkesan memaksakan hadirnya pilkada. Tak pelak, di realitas warga imbauan pemerintah pun sekadar cuap-cuap belaka. “

Sebagian kan sudah tidak peduli dengan imbauan protokol kesehatan. Sikap acuh ini bisa berlanjut ke pilkada,” sebutnya.

Upaya menggerus sikap acuh dua jenis massa ini dengan image transparan pun justru hanya berlaku dengan pemilih berliterasi rendah. Untuk kalangan melek politik bisa membulatkan pilihan ke golput karena dianggap sekadar jadi mainan para elit. “Selama ini, kandidat mengklaim membawa angin perubahan untuk kedaulatan rakyat. Daulat tapi dikerjain mulu,” tutupnya.

Sementara itu, Fadhli Fakhri Fauzan, peneliti dari LSI Denny JA dalam laporan survei terkait Pilkada Samarinda 2020 mengungkapkan, terdapat sebesar 30,4 persen responden yang masuk kategori sebagai swing voters. Jumlah yang terbilang besar. Terlebih, lanjut dia, semakin besar swing voters ini bisa mengindikasikan besarnya potensi politik uang.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X