Nelayan Tak Berkutik Hadapi Kekuatan Modal Pengepul

- Selasa, 8 Desember 2020 | 12:00 WIB
Nelayan menunjukan lobster hasil tangkapan.
Nelayan menunjukan lobster hasil tangkapan.

Dikenal sebagai ’’surga” benur, belum ada satu pun perusahaan atau kelompok usaha bersama resmi yang beroperasi di kawasan Krui, Lampung. Hasil tangkapan dikirim ke Jakarta dan Bengkulu sebelum kemudian diekspor.

AGUS D.P., Lampung-Bengkulu, Z. HIKMIA, Jakarta, Jawa Pos

KAMI berjalan menuju perahu saat nelayan itu berbisik pelan, ”Jangan sampai ketahuan dari media, ya, Bang.”  Rabu pagi lalu itu (2/12), kami tengah berada di Kelurahan Pasar Krui, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Jawa Pos hendak ikut nelayan yang tak mau disebutkan namanya tersebut melihat langsung aktivitas pencarian benur atau benih lobster.

”Orang-orang sini (Kuala Stabas) takut kalau diliput media,” papar nelayan berotot besar dan berkulit legam itu.  Kekhawatiran nelayan tersebut cukup beralasan. Sebab, sampai saat ini aktivitas penangkapan dan perdagangan benur di laut Krui tercatat masih ilegal. Belum ada satu pun perusahaan atau kelompok usaha bersama (KUB) nelayan resmi yang beroperasi di sana. ”Jadi (aktivitas perdagangan benur di Krui) masih kucing-kucingan,” ujarnya.

Perairan Pesisir Barat, Lampung, merupakan salah satu ’’surga” benur. Pagi itu ombak sedang ’’baik’’. Meski diselimuti ’’ketakutan’’, nelayan yang membawa kami tetap memacu perahunya ke arah tengah laut. Di sepanjang perjalanan, pelampung warna-warni tampak bertebaran di permukaan laut. Di bawah pelampung itu ada waring, alat penangkap benur. ”Kami pasang (waring) sore, paginya kami angkat. Kalau ada benur, kami ambil,” ungkapnya.

Bentuk waring hampir sama dengan jaring ikan pada umumnya. Selain memasang pelampung, nelayan memberi pemberat agar waring tidak terseret gelombang.  Waring juga dipasangi lampu senter. Cahaya dari senter itu berfungsi untuk ’’memancing” benur masuk ke waring ketika malam. Keyakinan nelayan setempat, benur suka cahaya.

Hanya hitungan menit, perahu yang kami tumpangi sampai di tujuan. Nelayan yang pernah bekerja sebagai sopir itu langsung mengangkat waringnya. Sialnya, pagi itu tak ada satu pun benur yang masuk perangkap.

”Mungkin karena beberapa malam ini bulan terang, cahaya senter kalah terang,” tutur nelayan itu. Perahu pun kembali ke dermaga tanpa membawa hasil tangkapan.

Perdagangan benur ilegal di Kuala Stabas sudah bukan rahasia lagi. Bisnis terlarang itu sudah berlangsung dua tahun terakhir. Benur yang laku dijual ke pengepul umumnya berwarna bening. Rata-rata dihargai Rp 8 ribu sampai Rp 9 ribu per ekor. Benur yang sudah muncul warna hitam tidak laku dijual. ”Kita buang ke laut kalau yang sudah muncul warnanya,” ujarnya.

Alur perdagangan benur di Krui selama ini terorganisasi dengan baik. Dari nelayan, benur itu dibeli pengepul dengan harga mengikuti pasaran.  Selanjutnya, benur umumnya dikirim ke Jakarta dan Bengkulu untuk kemudian diekspor ke luar negeri melalui perusahaan-perusahaan yang telah mengantongi izin ekspor sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah NKRI.

Salah satu perusahaan pemegang izin ekspor benur adalah PT Dua Putera Perkasa (DPP). Bos PT DPP Suharjito ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (25/11) bersama dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan lima orang lainnya. Tujuh tersangka itu disangka melakukan suap terkait izin ekspor benur.

Selama di Pesisir Barat, Jawa Pos menelusuri jaringan perdagangan benur dari level hulu. Di wilayah yang berada di perbatasan Lampung-Bengkulu dan memiliki garis pantai sepanjang 210 kilometer itu, perdagangan benur merupakan bisnis gelap paling menggiurkan. Pemasukan dari bisnis itu lebih besar daripada menangkap ikan. ”Nelayan di sini (Pesisir Barat) sudah malas cari ikan,” ujarnya.

Ironisnya, nelayan setempat mengungkapkan bahwa pasar benur di Krui tidak jarang melibatkan oknum aparat. Tidak sekadar membekingi bisnis gelap dari operasi petugas, mereka juga menjadi bagian dari lingkaran perdagangan benur. ”Merekalah yang kebanyakan jadi pengepul (benur),” ungkap nelayan yang wanti-wanti namanya tidak disebutkan itu.

Selama ini pengepul menjadi ’’otak” yang menggerakkan nelayan untuk menangkap benur. Para ’’bos’’ tersebut tidak jarang meminjamkan modal kepada nelayan berupa peralatan tangkap benur, seperti waring, senter, dan perahu. Kekuatan modal itulah yang membuat nelayan tidak bisa berkutik. ”Kalau mau pindah bos, ya harus balikin modal,” paparnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X