PROKAL.CO,
SAMARINDA- Pemerintah terus mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) di Tanah Air. Selain sebagai bahan bakar ramah lingkungan, juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan energi fosil. Diharapkan, BBN bisa menjadi masa depan.
Ketua Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menjelaskan, bagi Indonesia BBN tidak hanya sekadar memenuhi pasar domestik. Namun juga menopang penyerapan minyak sawit yang menjadi bahan baku utama, pada pembuatan biofuel serta mengurangi impor bahan bakar fosil.
“Awal pengembangan BBN didorong akibat semakin besarnya defisit neraca perdagangan karena impor bahan bakar fosil,” ujarnya dalam acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2020 New Normal yang dilaksanakan secara virtual, Kamis (3/12).
Dia menyebut, pada 2019 defisit neraca dagang mencapai USD 9,3 miliar akibat impor bahan bakar fosil Indonesia mencapai 50 persen. Sebaliknya, melalui program mandatori biodiesel 30 (B30) berbasis sawit, yang dicanangkan pemerintah mampu menghemat devisa hingga USD 3,09 miliar atau setara dengan Rp 44,74 triliun di tahun 2020.
Tidak hanya itu, program tersebut juga berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca (EGRK) sebesar 17,5 juta ton CO2eq, atau setara dengan 45 persen pada target energi dan transportasi di tahun 2019. “Diproyeksikan akan mengurangi 25 juta ton CO2eq atau 68 persen dalam kontribusi pada target energy dan transportasi,” terangnya.
Bersamaan, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengungkapkan, BBN berbasis sawit telah menjadi bagian dari strategi ketahanan energi pemerintah nasional. “Perkembangannya sangat pesat sejak awal 2020, B30 telah memproduksi 4,28 juta ton biodiesel pada semester I 2020,” ungkapnya.