Bermimpi BBN Jadi Masa Depan

- Jumat, 4 Desember 2020 | 15:54 WIB
Pemerintah terus mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) di Tanah Air. Selain sebagai bahan bakar ramah lingkungan, juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan energi fosil. Diharapkan, BBN bisa menjadi masa depan.
Pemerintah terus mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) di Tanah Air. Selain sebagai bahan bakar ramah lingkungan, juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan energi fosil. Diharapkan, BBN bisa menjadi masa depan.

SAMARINDA- Pemerintah terus mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) di Tanah Air. Selain sebagai bahan bakar ramah lingkungan, juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan energi fosil. Diharapkan, BBN bisa menjadi masa depan.

Ketua Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menjelaskan, bagi Indonesia BBN tidak hanya sekadar memenuhi pasar domestik. Namun juga menopang penyerapan minyak sawit yang menjadi bahan baku utama, pada pembuatan biofuel serta mengurangi impor bahan bakar fosil.

“Awal pengembangan BBN didorong akibat semakin besarnya defisit neraca perdagangan karena impor bahan bakar fosil,” ujarnya dalam acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2020 New Normal yang dilaksanakan secara virtual, Kamis (3/12).

Dia menyebut, pada 2019 defisit neraca dagang mencapai USD 9,3 miliar akibat impor bahan bakar fosil Indonesia mencapai 50 persen. Sebaliknya, melalui program mandatori biodiesel 30 (B30) berbasis sawit, yang dicanangkan pemerintah mampu menghemat devisa hingga USD 3,09 miliar atau setara dengan Rp 44,74 triliun di tahun 2020.

Tidak hanya itu, program tersebut juga berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca (EGRK) sebesar 17,5 juta ton CO2eq, atau setara dengan 45 persen pada target energi dan transportasi di tahun 2019. “Diproyeksikan akan mengurangi 25 juta ton CO2eq atau 68 persen dalam kontribusi pada target energy dan transportasi,” terangnya.

Bersamaan, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengungkapkan, BBN berbasis sawit telah menjadi bagian dari strategi ketahanan energi pemerintah nasional. “Perkembangannya sangat pesat sejak awal 2020, B30 telah memproduksi 4,28 juta ton biodiesel pada semester I 2020,” ungkapnya. 

Secara khusus, pemerintah Indonesia menciptakan lima langkah strategis untuk pengembangan BBN. Pertama, dengan menjamin program B30 berjalan sesuai target. Kedua, riset dan perencanaan pengembangan B40 dan B50 baik dari sisi teknis dan ekonomis, meliputi road test serta pengujian pada mesin pembangkit listrik tenaga diesel.

Ketiga, melalui kerja sama dengan Pertamina dalam mendorong program green fuel dengan memproduksi green diesel, green gasoline dan green avtur beserta studi kebijakan, efisiensi, teknologi, pasokan, insentif dan infrastruktur pendukung, beserta pengembangan industri pendukung seperti metanol dan katalis.

Keempat, pengembangan hidrogenasi minyak sawit (HPO) bekerja sama dengan Pertamina, Pupuk Indonesia, ITB, BPDP-KS dan pemangku kepentingan lain. Kelima, memanfaatkan lahan reklamasi atau bekas pertambangan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, dan Pemerintah Daerah dalam mengidentifikasi lahan bekas tambang, serta bekerja sama dengan Kementerian Pertanian untuk menentukan komoditas yang paling cocok. “Sehingga BBN bisa menjadi energi masa depan Indonesia, tanpa tergantung minyak fosil,” pungkasnya.

Untuk mendukung BBN, dibutuhkan produksi yang baik dengan program peremajaan sawit rakyat. Pemerintah akan terus meningkatkan realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR). Melalui PSR, produktivitas perkebunan sawit rakyat akan meningkat sesuai standar potensi. Selain itu, program PSR juga membantu masyarakat dalam menjalankan tata Kelola perkebunan kelapa sawit, yang berkelanjutan sesuai dengan standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Perkebunan, Kasdi Subagyono. Kasdi menyatakan saat ini dari luas areal petani plasma 6,72 juta hektare, terdapat 2,8 juta hektare yang perlu diremajakan, yang terdiri dari pohon kelapa sawit berusia lebih dari 25 tahun dan perkebunan rakyat yang menggunakan bibit dengan kualitas buruk.

“Jika kita mampu meningkatkan seluruh usaha tani perkebunan kelapa sawit, yang rata-rata produktivitasnya saat ini sekitar 3,6 hingga 4 ton setara minyak sawit mentah per hektare per tahun, maka kita dapat meningkatkan produktivitas hingga 6 hingga 7 ton per hektare per tahun sesuai standar potensial,” jelasnya.

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman menyatakan realisasi PSR tahun ini mencapai 67.018 hektare dengan melibatkan 28.794 pekebun sawit serta penyaluran dana sebesar Rp 1,8 triliun. BPDPKS telah mengalokasikan 5 persen dari pendapatan pungutan ekspor sawit untuk membantu pembiayaan proses Sertifikasi ISPO petani sawit.

Menurut Eddy, PSR penting dilakukan untuk keberlanjutan mandatori biodiesel. "Seiring meningkatnya permintaan bahan bakar dan meningkatnya alokasi biodiesel dari tahun ke tahun, program peremajaan sawit rakyat memainkan peranan yang sangat penting," kata Eddy. (ctr/ndu/k15)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Transaksi SPKLU Naik Lima Kali Lipat

Jumat, 19 April 2024 | 10:45 WIB

Pusat Data Tingkatkan Permintaan Kawasan Industri

Jumat, 19 April 2024 | 09:55 WIB

Suzuki Indonesia Recall 448 Unit Jimny 3-Door

Jumat, 19 April 2024 | 08:49 WIB

Libur Idulfitri Dongkrak Kinerja Kafe-Restoran

Kamis, 18 April 2024 | 10:30 WIB

Harga CPO Naik Ikut Mengerek Sawit

Kamis, 18 April 2024 | 07:55 WIB
X