Paham Kekerasan Mulai Menyasar Anak Usia Dini

- Jumat, 4 Desember 2020 | 15:29 WIB

Dalam riset Setara Institute, tentang kota toleran, Samarinda berada di urutan 40 dari 94 kota di Indonesia.

 

PEREMPUAN bisa menjadi korban dan tersangka terorisme. Di Samarinda, anak perempuan menjadi korban terorisme dalam peristiwa bom di Gereja Oikumene, November 2016 lalu. Hal ini pun menimbulkan luka dan trauma. Jadi, peran perempuan dalam upaya penanggulangan terorisme pun tak boleh diabaikan.

Kamis (3/12), Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Achmad Nurwakhid datang ke Samarinda. Dia menyebut, peran perempuan penting dalam mereduksi cikal bakal terorisme. "Merujuk pada hasil survei yang dilakukan oleh BNPT tahun 2019, menyatakan bahwa faktor yang paling efektif dalam mereduksi potensi radikalisme secara berturut-turut adalah diseminasi sosial media, internalisasi kearifan lokal, perilaku kontra radikal dan pola pendidikan keluarga pada anak,” katanya.

Dalam konteks ini, sambung dia, tidak dapat dimungkiri bahwa posisi perempuan sangat vital dalam keluarga. Bahkan dalam masyarakat secara lebih luas. Perempuan memiliki peran strategis dalam membentengi keluarga dan masyarakat dari segala bentuk penyebaran dan ajakan kelompok radikal terorisme. Dia mengatakan, seorang ibu bisa menjadi rekan dialog anaknya, sering berbagi cerita bahkan berbagi pemahaman atas materi-materi yang diterima anaknya.

Baik di sekolah, di masyarakat, maupun yang diperoleh melalui media sosial. Seorang perempuan juga dalam kapasitasnya sebagai seorang istri, bisa menjadi partner diskusi suaminya dalam berbagai hal, termasuk dalam pemahaman-pemahaman suatu ajaran agama.

Dengan peran seperti ini, perempuan setidaknya bisa menjadi filter awal atau pendeteksi awal dari setiap kejanggalan yang ditemukan dalam keluarga masing-masing.

Menurutnya, dalam konsepsi pendidikan, keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Di dalam keluarga, anak mulai dikenalkan dan diajarkan dengan berbagai hal di sekelilingnya, dengan keluarganya, teman-temannya, bahkan diajarkan tentang berbagai nilai sosial, budaya, dan agama yang mereka anut. Dalam hal ini, tugas mendidik anak yang ada dalam lingkungan keluarga merupakan tugas resiprokal orang tua, namun posisi perempuan, yakni sebagai ibu secara emosional lebih memiliki kedekatan terhadap anak. Karena itulah, kunci penanaman karakter dan jati diri anak banyak bertumpu pada peran perempuan.

"Perempuan dalam peran seperti ini, sebenarnya menjadi salah satu benteng dari pengaruh paham dan ideologi kekerasan yang saat ini mulai menyasar pada anak usia dini. Maka diperlukan upaya penanaman nilai kebangsaan, wawasan keagamaan, dan kearifan lokal dalam keluarga menjadi sangat efektif sebagai filter dalam menangkal penyebaran paham radikal terorisme," imbuhnya.

Di sisi lain, dibutuhkan kesadaran tinggi untuk selalu mawas diri agar perempuan tidak terperangkap masuk ke jaringan pelaku ataupun menjadi korban atas aksi terorisme. Dalam konteks inilah, kegiatan pelibatan perempuan dalam pencegahan terorisme penting untuk dilaksanakan.

Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltim Achmad Jubaidi menjelaskan, Provinsi Kaltim merupakan perlintasan. Selain itu, Samarinda kerap jadi tempat pelarian kelompok terorisme.

Seperti kisah salah satu pelaku Bom Bali I Ali Imron, yang sempat melarikan diri ke Samarinda lalu ditangkap di kawasan Delta Mahakam.  Lalu, pengebom Gereja Oikumene yaitu Juhanda, dia juga merupakan residivis kasus teror bom di Tangerang, Jawa Barat. Setelah bebas dari Lapas Kelas I Tangerang pada 2014, Juhanda pergi ke Parepare, Sulawesi Selatan. Setelah itu, dia pindah ke Samarinda atas ajakan AP, sesama pelaku teror yang menghuni Lapas Tangerang. Selama di Samarinda, Juhanda bergabung bersama Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Kaltim. JAD merupakan organisasi yang berafiliasi dengan ISIS. Bahkan, 2019 lalu Densus 88 juga melakukan penggerebekan di tiga tempat dan mengamankan tiga terduga teroris terkait bom di Medan, Sumatra Utara.

"ISIS meskipun kalah perang, simpatisan ISIS banyak. Termasuk di Samarinda," kata Jubaidi. Dia menerangkan, aksi terorisme terjadi awalnya dari intoleransi. Ketika intoleransi semakin menguat, pola pikir berkembang menjadi radikal. Lalu bisa dengan mudah jadi terorisme. Untuk menangkal ini, sebenarnya tak perlu jauh-jauh, bisa dari keluarga yang saling membentengi dari paham yang bisa menyakiti orang lain. (nyc/riz/k16) 

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X