Insiden Salah Tik dan Kualitas Legislasi

- Kamis, 3 Desember 2020 | 13:04 WIB

Oleh:

Adam Setiawan, S.H., M.H

Dosen Fakultas Hukum Universtias 17 Agustus 1945 Samarinda

DI balik terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), ada insiden fatal yang menghantui terbitnya UU Cipta Kerja. Yakni, insiden salah tik (typo) Pasal 6 UU Cipta Kerja halaman 6 dan Pasal 53 Ayat (5) Halaman 757. 

Persoalan salah tik bukan terjadi kali ini saja, pemerintah pernah menjadikan alasan salah tik atas redaksi yang dinilai tidak sesuai dengan asas preferensi hukum, yaitu Pasal 170 Ayat (1) Halaman 682 RUU Cipta Kerja. Pasal 170 Ayat (2) perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Para sarjana hukum tentunya memahami kedudukan undang-undang lebih superior dari peraturan pemerintah (asas preferensi hukum lex superior derogat legi inferior). Entah bagaimana bisa para pembentuk undang-undang alpa tidak cermat merumuskan suatu pasal. Dalam konteks UU Cipta Kerja, jika dalihnya UU Cipta Kerja mengatur berbagai isu dan sektor, menggabungkan berbagai ketentuan menjadi satu sehingga salah tik dapat dimaklumi rasanya tidak masuk akal.

Apa kabar dengan Revisi UU KPK yang yang hanya menyasar satu isu, yaitu perubahan format kelembagaan KPK. Untuk diketahui, kesalahan tik Revisi UU KPK terjadi di Pasal 29 Pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan paling rendah 50 tahun, malah tertulis empat puluh.

Adapun insiden salah tik mempunyai implikasi terhadap ketidakpastian hukum mengingat UU Cipta Kerja telah resmi berlaku, keadaan ini mengingatkan suatu kalimat di buku Jerome Frank bahwa ketidakpastian hukum berakar dari ketidakpastian aturan. Selain itu, insiden salah tik semakin membuktikan bahwa kualitas legislasi negara Indonesia sangat rendah dan semakin merusak kepercayaan publik terhadap para pembentuk undang-undang.

Apakah ini yang dinamakan dengan gagap legislasi, di mana proses legislasi dilakukan dengan asal-asalan semaunya sendiri, tidak memerhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Insiden salah tik ini bertentangan dengan “asas kejelasan rumusan” adalah setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai interpretasi dalam pelaksanaannya.

Insiden salah tik semakin memperluas kompleksitas UU Cipta Kerja, mengingat sedari awal UU Cipta Kerja yang digagas dengan menggunakan metode omnibus law-nya sudah menuai polemik. Pertama, dimulai dari permasalahan inkompabilitas metode omnibus law dalam tradisi civil law karena mengingat metode omnibus law lazimnya dipraktikkan di negara dengan tradisi hukum comman law.

Untuk diketahui, Indonesia menganut tradisi hukum civil law klasik, warisan hukum dari masa penjajahan. Namun, ada beberapa ahli hukum yang mengatakan Indonesia perlu mengambil langkah progresif dalam bidang legislasi dengan menggunakan metode omnibus law seperti yang diterapkan negara Vietnam yang notabene menganut tradisi hukum civil law, Vietnam bisa dijadikan prototipe negara dengan tradisi hukum civil law yang menggunakan metode omnibus law.

Kedua, metode omnibus law tidak dikenal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), ditambah ketidakjelasan kedudukan UU Cipta Kerja dengan metode omnibus law dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Kendati demikian, Prof Jimly Asshiddiqie mengatakan sudah sebaiknya sebelum mentransplantasikan metode omnibus law, perlu diadakan perubahan UU P3.

Akan tetapi, tanpa perubahan UU P3, sebenarnya praktik pembentukan UU Omnibus  dapat saja dilakukan dengan mengabaikan beberapa materi pedoman pembentukan undang-undang yang menjadi lampiran UU P3, karena sejatinya pedoman yang menjadi lampiran UU P3 hanya bersifat memandu dan tidak perlu dipahami bersifat kaku.

Ketiga, materi muatan UU Cipta Kerja dinilai banyak mengandung persoalan dari hak-hak buruh yang direduksi hingga substansi isu mengenai resentralisasi. Di sini penulis akan memberikan salah satu substansi yang tidak kalah penting untuk dikritisi yakni ketentuan penggunaan diskresi, dalam Pasal 24 halaman 753 UU Cipta Kerja, Pejabat Pemerintah yang menggunakan diskresi harus memenuhi syarat: a. sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (2); b. sesuai dengan AUPB; c. berdasarkan alasan-alasan objektif; d. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan e. dilakukan dengan iktikad baik.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X