Global Solidarity, Shared Responsibility menjadi tema peringatan Hari AIDS Sedunia 2020. Menggugah kesadaran setiap elemen dan masyarakat untuk bisa ikut membantu orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang masih kesulitan.
M RIDHUAN, Balikpapan
DALAM peringatan Hari AIDS Sedunia 2020, Direktur Eksekutif United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), Winnie Byanyima mengatakan, lebih 12 juta orang di seluruh dunia masih menunggu untuk mendapatkan pengobatan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Selain itu, 1,7 juta orang terinfeksi HIV pada 2019 karena tidak dapat mengakses layanan kesehatan esensial.
Praktisi Kesehatan Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Endang Soentoro menyebut, kasus HIV hingga kini seperti fenomena gunung es. Artinya di luar data yang dilaporkan, diduga masih banyak penderita HIV/AIDS yang belum sadar menjadi ODHA. Atau enggan berobat begitu tahu terinfeksi HIV. “Apalagi di masa Covid-19 tahun ini. Sepertinya HIV menjadi tertutupi karena fokus penanganan pandemi,” ujar Endang.
Karena itu, tema “Global Solidarity, Shared Responsibility atau Solidaritas Global, Tanggung Jawab Bersama” dipilih untuk menyadarkan masyarakat dan pemimpin. Untuk tetap bisa memerhatikan penyebaran HIV/AIDS dan tidak melupakan para ODHA yang lebih rentan di masa pandemi saat ini. “Apalagi stigma negatif di masyarakat masih belum hilang,” ucapnya.
Itu yang membuat banyak orang yang berada di kelompok risiko terpapar HIV enggan memeriksakan diri ke dokter atau rumah sakit. Padahal langkah itu penting untuk bisa segera menyelamatkan mereka yang memang terinfeksi HIV. Juga dalam proses memutus penularan virus.
“Mereka yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi banyak yang masih enggan karena anggapan masyarakat masih memandang negatif para ODHA,” kata dia.
Memang, hingga kini ODHA masih dicap sebagai mereka yang lekat dengan perilaku tidak sehat dan menyimpang. Padahal tidak semua ODHA tertular karena kebiasaan buruk. Seperti anak yang tertular HIV dari ibu mereka yang positif saat proses persalinan atau menyusui.
Ada juga istri yang tertular dari suami mereka yang suka berganti-ganti pasangan. “Itu sebabnya banyak rekan dari Dinas Kesehatan atau kelompok sebaya ODHA yang jemput bola,” jelasnya.
Di RSPB memiliki tim HIV. Yang memang khusus menangani ODHA di klinik voluntary counseling and testing (VCT) dan care, support, and treatment (CST). Memberikan konseling dan memantau perkembangan pengobatan antiretroviral (ARV).
Disebut Endang, meski sudah dibantu dokter, pada akhirnya keputusan untuk konsisten menjalani terapi ARV berada di tangan pasien. “Karena ini sifatnya jangka panjang. Dan obat yang diberikan biasanya memberikan efek samping. Ini yang membuat beberapa kasus berhenti terapi,” sebutnya.
Efek samping biasanya muncul karena ODHA memiliki kondisi kesehatan tertentu. Itu sebabnya konsultasi ke dokter adalah hal yang penting. Agar dokter bisa memberikan resep ARV yang efektif disesuaikan kondisi pasien untuk meminimalisasi efek samping tersebut. Meski begitu, dengan perkembangan ARV, saat ini banyak efek samping yang berkurang.