Congyang Itu seperti Kekuasaan, kalau Lebihi Batas ya Tumbang

- Kamis, 3 Desember 2020 | 11:12 WIB
Anggota DPRD Kota Semarang, Supriyadi dengan menenteng Conyang.
Anggota DPRD Kota Semarang, Supriyadi dengan menenteng Conyang.

Asal diminum sesuai dengan anjuran, congyang berkhasiat melancarkan peredaran darah dan membuat otot serta saraf rileks. Sudah satu dekade ini legal dan biasa dijadikan buah tangan.

 

AGAS PUTRA HARTANTO, Semarang, Jawa Pos

 

HUJAN baru selesai mengguyur malam itu. Semarang yang biasanya berhawa menyengat menjadi lumayan dingin. Waktu yang tepat bagi Supriyadi untuk menghangatkan diri. Dua botol congyang Cap Tiga Orang ada di hadapannya. ’’Monggo coba, di badan anget. Virus Covid-19, bakteri apa pun, wis bablas,’’ kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang itu kepada Jawa Pos yang menemuinya pada Selasa malam pekan lalu (24/11).

Supriyadi mengakrabi congyang sejak duduk di bangku SMP. Dia menceritakan sambil terkekeh bagaimana dirinya pernah sampai diskors sekolah. ’’Ketahuan minum congyang saat istirahat pelajaran,’’ katanya, lantas tergelak.

Tapi, pria yang kini berusia 50 tahun itu tak kapok. Bagi dia, minuman khas Semarang yang sekarang sudah legal tersebut berkhasiat untuk melancarkan peredaran darah dan membuat otot serta saraf rileks. Asal diminum sesuai dengan anjuran.

Namun, jika melebihi dosis yang dianjurkan, congyang dapat memabukkan. ’’Congyang itu kayak kekuasaan. Jika dinikmati sesuai dengan ukuran, akan nyaman dan menyehatkan. Tapi, kalau melebihi batas ukuran, ya tumbang dan tidak sadar,’’ ujar politikus PDI Perjuangan itu.

Awal mula congyang diracik Koh Tiong, esensinya adalah sebagai jamu kesehatan. Khususnya untuk meningkatkan kejantanan atau keperkasaan bagi pria. Mengonsumsinya cukup satu sampai dua seloki (gelas kecil).

Rasanya segar, hangat, agak pekat, dan menghantam. Juga meninggalkan aroma harum setelah diteguk.

Koh Tiong merupakan pewaris generasi peracik obat berdarah Tionghoa yang menetap di ibu kota Jawa Tengah tersebut.

Congyang kali pertama diproduksi di sebuah rumah. Tepatnya di sebelah Kelenteng Siu Hok Bio, Jalan Wotgandul Timur, Kranggan. Sentra daerah pecinan di pusat kota Semarang. Kini rumah tersebut berganti menjadi ruko yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga.

Supriyadi ingat, tempat langganannya membeli congyang ada di prapatan (perempatan) Citarum. Di pedagang kaki lima yang menggunakan gerobak dorong. Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintah menertibkan mereka. Terakhir sekitar 1998.

Congyang merupakan evolusi dari minuman beralkohol (mihol) merek A Djong yang moncer di Semarang era 1970-an. Kadar alkoholnya mencapai 35 persen. Namun, lambat laun mihol A Djong ditinggalkan pembeli. Sebab, rasanya yang terlalu panas kurang bersahabat di lidah, tenggorok, dan perut. Mirip seperti arak Tiongkok.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X