“Sekitar 15 tahun lalu ketika saya masih belajar di WHO (World Health Organization), pasien HIV baru bisa diberikan obat ketika kondisinya sudah memburuk,” ungkap Sunarto, Senin (30/11).
Namun, WHO sudah mengubah kebijakan tersebut. Dan dengan kemampuan Pemerintah Indonesia menyediakan obat ARV, dokter yang menangani pasien dengan infeksi HIV dibolehkan memberikan obat sedini mungkin. Begitu seseorang divonis sebagai ODHA. “Tentu harus dengan menjalani konseling dulu,” katanya.
Konseling menjadi bagian penting. Pasalnya, terapi ARV adalah pengobatan seumur hidup. Artinya, ODHA tidak boleh lepas dari konsumsi ARV yang diberikan dokter. Jika tidak, konsekuensinya bisa fatal. ODHA akan kembali menjalani proses pengobatan dari awal dengan kondisi yang lebih berat.
“Kepatuhan minum obat adalah hal mutlak dilaksanakan. Seumur hidup ODHA,” ujarnya. “ODHA yang terapi ARV sistem imunnya sudah seperti orang normal. Jadi potensinya sama seperti orang normal. Beda dengan yang tidak terapi,” sambungnya.
Disebut Sunarto, dokter di Indonesia punya komitmen tinggi agar pengobatan ARV itu bisa menjangkau semua ODHA. Pendekatan fast track 90-90-90 adalah hal yang dikejar. Mendeteksi orang yang terinfeksi pada 90 persen orang yang diperkirakan terinfeksi. Memberikan terapi ARV dini pada 90 persen orang yang terinfeksi, serta mampu mencapai keadaan virus tak terdeteksi pada 90 persen orang yang minum ARV. “Pendekatan fast track ini diharapkan dapat menurunkan angka infeksi baru HIV secara signifikan,” jelasnya.
Dalam hal pengobatan, dokter memang punya komitmen. Namun, kembali lagi kepada masyarakat. Utamanya kepada mereka yang termasuk kelompok dengan risiko tinggi tertular HIV. Diperlukan kesadaran untuk datang memeriksakan diri ke rumah sakit rujukan untuk HIV/AIDS. “Dan bagi ODHA komitmen menjalani pengobatan. Karena beberapa kasus ODHA, justru tidak diketahui rimbanya,” sebut dia.