Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol (Mihol) kini sedang digodok di Senayan. Namun, di beberapa daerah, mihol sangat lekat dengan tradisi turun-temurun. Salah satunya di Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Lombok Utara. Di sana, mihol bahkan hidup berdampingan dengan adat dan agama.
FERLYNDA PUTRI, Lombok Utara, Jawa Pos
PERJALANAN ke Sukadana memakan waktu tiga jam dari Mataram. Di desa ini, meminum brem konon seperti menyeruput kopi. Brem adalah nama minuman lokal yang berasal dari fermentasi air beras ketan. Tua, muda, pria, perempuan, bebas minum brem. Namun, jangan sampai ribut kalau tak ingin kena sanksi adat.
Sayangnya, Jawa Pos datang setelah perayaan Maulid. Desa itu terlihat sepi. ’’Kalau Maulid, di sini ramai. Semua pakai baju adat dan setiap acara ada brem,’’ kata Raden Anggrita, warga Sukadana. Lebaran dan Maulid merupakan saat paling ramai di Desa Sukadana. Bahkan, ketika Maulid, keramaian tak hanya berlangsung satu hari. Setelah peringatan Maulid, warga biasanya menghelat hajatan pernikahan atau khitanan.
Menurut Anggrita, waktu acara di satu kampung tak boleh bertabrakan. Tujuannya, semua bisa saling membantu. Termasuk menyediakan kebutuhan tamu. Warga akan membawa kelapa, beras, sayuran, dan sebagainya. Yang tidak boleh ketinggalan adalah membawa brem. ’’Sambil masak bisa minum brem. Pas acara juga minum brem,’’ tutur pria 40 tahun itu. Sepekan sebelum hajatan, tuan rumah pasti akan membuat brem. Tetangga yang masih memiliki brem akan membawanya untuk memeriahkan hajatan.
Cara membuat brem hampir mirip dengan membuat tape ketan. Namun, brem tidak memakai gula. Karena itu, rasanya cenderung asam. Makin lama disimpan, warnanya semakin jernih dan ada rasa pahit yang tertinggal. Tentu kandungan alkoholnya makin tinggi. Inilah yang menjadi favorit warga.
Siapa saja yang minum? Menurut Anggrita, yang mengonsumsi brem bukan hanya laki-laki. Ada juga perempuan. Bahkan, brem biasa dikonsumsi untuk sehari-hari. Misalnya, ketika mau ke ladang untuk bercocok tanam. ’’Sebelum berangkat minum satu seloki dulu. Nanti kuat badannya,’’ ujarnya. Brem juga biasa disuguhkan kepada tamu. Jika brem sudah disuguhkan, tamu tidak boleh menolak. Bisa jadi dianggap tidak sopan.
Kenapa warga Sukadana masih mengonsumsi brem dan melekatkannya dengan tradisi serta agama? Menurut Anggrita, hal itu terjadi karena kepercayaan bahwa minuman tersebut bermanfaat bagi kesehatan. Orang yang minum bisa lebih bersemangat.
Saat Jawa Pos datang, brem di tempat Anggrita sudah habis. Dia akan membuat brem lagi dua hari setelah Jawa Pos berkunjung. Sebab, pekan depan Anggrita memiliki hajat menamai anaknya yang baru lahir.
Desa Sukadana sangat kuat memegang tradisi. Minum mihol boleh asal tak sampai membuat ricuh. Jika itu terjadi, yang ruyam bisa sekeluarga. Si pembuat gaduh akan disidang tetua. Denda paling ringan adalah membayar uang logam bolong (uang zaman dulu) 244 keping dan satu ekor kambing. Satu keping uang bolong senilai Rp 5 ribu. Denda terberat bisa berupa sapi atau kerbau. Kalau tidak mau membayar sesuai dengan ketentuan, satu keluarga akan diusir ke luar kampung.
Jika yang membuat rusuh berasal dari luar kampung, yang harus bertanggung jawab adalah tuan rumah yang didatangi tamu tersebut. ’’Karena itu di sini aman,’’ tuturnya.
Anggrita juga mengajak Jawa Pos berkeliling desa. Dia ingin menunjukkan pembuatan brem. ’’Banyak orang luar Sukadana yang datang dan bawa brem. Enak katanya,’’ ungkapnya. Sampailah kami di rumah Raminten yang berjarak lima menit jalan kaki dari rumah Anggrita. Perempuan 60 tahun itu mempersilakan Jawa Pos duduk di dipan depan rumahnya. Dia lantas mengeluarkan ember bertulis ’’bak berem’’, ketan yang diwadahi mangkuk plastik, ragi, dan air. ’’Sebelum dimasak, ketannya dicuci pakai kapur sampai bersih,’’ terang Raminten menggunakan bahasa setempat, lalu diterjemahkan Anggrita.