Pasal 1 UU KIP menyebutkan, badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Sampai di sini, terlihat betapa luas cakupan pengertian mengenai badan publik tersebut. Tetapi, kata kuncinya adalah adanya dana yang bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat dan/atau bantuan dari luar negeri.
Semua lembaga dan organisasi yang memenuhi “kata kunci” sebagai badan publik, maka memiliki kewajiban menyediakan informasi publik melalui berbagai saluran yang tersedia. Bukan hanya itu. Badan publik tersebut juga diwajibkan memberi kemudahan akses terhadap informasi publik tersebut.
Agar kewajiban itu dilaksanakan secara efektif, maka di setiap badan publik dibentuk PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi). PPID inilah yang bertanggung jawab dalam penyimpanan, pendokumentasian, penyedian, dan/atau pelayanan informasi.
Dengan adanya PPID, maka berbagai jenis informasi yang sebelumnya tersebar dan tidak tertata, kini dikelola dengan efektif dan efisien. Sehingga tersusun rapi, terklasifikasi, dan memudahkan masyarakat pengguna informasi untuk mengaksesnya.
Jadi, dalam konteks UU KIP, maka tidak semua informasi yang berbegar di media (baik media mainstream maupun media sosial) dapat disebut sebagai informasi publik. Pada sisi lain, semua informasi yang ada dan dimiliki oleh suatu badan publik adalah termasuk informasi publik. Terhadap informasi publik seperti inilah yang dapat disebut sebagai “wilayah kerja” dari KI.