Selain itu, dia menggarap cerpen tentang kalangan eksil. Beberapa cerpen sekaligus sedang dalam proses.
Sebelumnya, Joss menulis karya nonfiksi tentang keluarga Pangeran Ario Soedjono, satu-satunya menteri Indonesia dalam kabinet pengasingan Belanda. Anaknya, Irawan Soejono, turut serta dalam perlawanan orang-orang Indonesia dan Belanda terhadap pendudukan Nazi oleh Jerman di Belanda.
Sama seperti kawannya sesama penulis, Soe Tjen Marching, Joss pun tergelitik untuk melanjutkan tulisan nonfiksinya ke dalam cerita fiksi. Kali ini tidak cuma bercerita tentang keluarga Soejono, tetapi juga perlawanan mahasiswa Indonesia terhadap pendudukan Nazi.
Fiksi ini ditulis dalam bentuk dua cerpen, Rumah Tusuk Sate dan Salam Perkenalan Spesial. Yang pertama dimuat Lembar Kebudayaan IndoProgress dan yang kedua dimuat Tempo. ’’Kedua tjerita kemudian terbit bersama tiga tjerita jang lain dalam kumpulan tjerpen berdjudul Rumah Tusuk Sate di Amsterdam Selatan,’’ jelasnya melalui e-mail.
Dalam kisah fiksi yang dia tulis, Joss selalu berangkat dari fakta-fakta sejarah yang diketahuinya. Namun, ada satu hal yang membuatnya begitu nyaman menulis fiksi: spirit bermain.
Berbeda dengan tulisan nonfiksi, Joss bisa bermain ’’bongkar pasang’’ untuk latar dan urutan kejadian bagi tokohnya dalam cerita fiksi. Tidak harus saklek seperti kejadian asli.