Joss Wibisono konsisten menulis dengan menggunakan Ejaan Soewandi karena dianggap lebih kreatif dan sastrawi. Karya fiksinya selalu berangkat dari fakta-fakta sejarah yang diketahuinya.
DEBORA D. SITANGGANG, Jakarta, Jawa Pos
BAGI Joss Wibisono, menggunakan Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik adalah sebuah upaya perlawanan. Bahwa ada masanya bahasa Indonesia dalam bentuk tulis tidak seperti sekarang.
’’Penggantian edjaan membutakan generasi muda jang lahir setelah itu dari tulisan-tulisan sebelum Soeharto,’’ jelas Joss yang berada di Amsterdam, Belanda, saat berbincang dengan Jawa Pos melalui Zoom pekan lalu, sepekan setelah dirinya menjadi pemateri di forum diskusi Sastra Diaspora Indonesia (Indonesian Writing Abroad) yang diadakan Yayasan Lontar.
Dia menggambarkan bahwa pada era Ejaan Republik atau sebelumnya, bahasa Indonesia lebih kreatif dan sastrawi. Karena itulah, dalam berbalas surat elektronik pun, Joss senantiasa menggunakan ejaan tersebut.
Awalnya Joss bukan penulis fiksi, baik cerpen maupun novel. Dia lebih dikenal sebagai penyiar di Radio Nederland sejak 1987.
Jadi, dia menyebut dirinya sebagai penulis nonfiksi alias berita. Namun, kemudian, beberapa teman mendorongnya menulis fiksi. Alasannya, tulisan Joss mudah dan enak dibaca.
Kebiasaannya menulis mudah tersebut dibentuk oleh sosok intelektual Arief Budiman. ’’Dia pandai menjelaskan hal-hal rumit menjadi mudah,’’ tuturnya.
Karena itulah, Joss selalu merasa bahwa tulisan fiksi yang dibuatnya tergolong mudah dibaca, menggunakan istilah-istilah yang mudah dipahami. Meskipun latar belakangnya selalu masa lalu.
Kecuali di karya terbarunya, barangkali. Karya itu masih berbentuk janin, masih dalam proses. Cerita pendeknya tentang Covid-19.
’’Tetapi, karena tentang Covid-19, saja harus lebih banjak belajar lagi tentang penjakit ini,’’ jelasnya.
Selain itu, dia menggarap cerpen tentang kalangan eksil. Beberapa cerpen sekaligus sedang dalam proses.
Sebelumnya, Joss menulis karya nonfiksi tentang keluarga Pangeran Ario Soedjono, satu-satunya menteri Indonesia dalam kabinet pengasingan Belanda. Anaknya, Irawan Soejono, turut serta dalam perlawanan orang-orang Indonesia dan Belanda terhadap pendudukan Nazi oleh Jerman di Belanda.