Bambang Iswanto
Dosen Institut Agama Islam Negeri Samarinda
SULIT membayangkan dan memercayai seorang pemimpin pemerintahan besar, masih menggunakan baju bertambal. Bukan untuk pencitraan. Tetapi karena benar-benar tidak memiliki baju yang bagus. Itulah Umar bin Khattab, khalifah kedua dari empat khalifah yang dikenal sebagai khalifah kedua al-Khulafa’ur Rasyidun.
Daerah Mesir, Libya, Baitul Maqdis, Barqoh, Persia, Irak, Armenia, Azerbaijan, Khurasan, Nisabur, Basra, Suriah, Yordania, Gaza, dan beberapa daerah di sekitar Laut Tengah sudah masuk wilayah kekhalifahan Islam yang dipimpin Umar bin Khattab.
Yang sering terlintas dalam bayangan banyak orang, pemimpin sering digambarkan dengan mahkota berlapis logam mulia dan bertabur permata, menggunakan jubah kebesaran supermewah berbahan sutra.
Ternyata terbalik 180 derajat dengan gambaran Umar ketika menjadi khalifah. Penampilannya tidak berbeda dengan rakyat biasa, bahkan sering terjadi pejabat di bawahnya pangling dan tidak tahu sudah berhadapan dengan khalifahnya sendiri. Sebab penampilan yang sangat bersahaja ditunjukkan dalam keseharian Umar memimpin negara.
Bukan hanya untuk dirinya, untuk keluarganya pun diterapkan sikap hidup yang sama. Pernah anaknya menangis ketika pulang sekolah, karena disindir teman-temannya memakai pakaian yang sangat lusuh dan kumal.
Sebagai seorang ayah yang bertanggung jawab, Umar merasa sedih dan tak nyaman dengan kondisi baju anak. Tidak ada baju lain yang lebih baik yang dimiliki dan disediakan. Gaji Umar hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer.
Umar berikhtiar membelikan baju anaknya dengan cara berutang kepada kas negara (baitul mal). Dia bersurat kepada bendahara negara agar dipinjami uang sebesar empat dirham, dengan jaminan pengembalian akan dilakukan melalui potongan gaji.
Surat berbalas, bendahara bersedia memenuhi permintaan dengan redaksi tambahan, “jika dipotong bulan depan, apakah Anda dapat memastikan akan hidup sampai bulan depan?”
Marahkan Umar kepada sang bendahara yang sudah “lancang” kepadanya? Umar menggigil dan menangis bersujud dan beristigfar serta membalas surat dari bendahara yang diiringi ucapan terima kasih telah diingatkan. Siapa pun tidak bisa memastikan umur seorang manusia, kecuali Allah.
Setelah membatalkan mengutang, Umar memberi tahu anaknya tidak jadi membelikan baju dan menasihati agar si anak tetap sabar memakai baju biasanya.