Di sela beban kerja sebagai buruh migran, Etik Juwita menulis beragam cerpen yang menceritakan kehidupan sebenarnya para ’’pahlawan devisa”. Mengandalkan handphone atau menulis secara manual di buku.
DEBORA D. SITANGGANG, Jakarta, Jawa Pos
SUATU kali Etik Juwita pernah ditanya, ’’Benarkah TKW (tenaga kerja wanita)/TKI (tenaga kerja Indonesia) hidup bergelimang dolar (sehingga dijuluki pahlawan devisa)?”
Dan, buruh migran Indonesia (BMI) asal Blitar, Jawa Timur, itu, seperti diunggahnya di dinding Facebook-nya pada 21 Oktober lalu, menjawab, ’’Saya tidak paham yang dimaksud bergelimang dolar itu bagaimana ya...”
Ada penjelasan lanjutan di bawah jawaban pendek itu. Tapi, bertahun-tahun sebelumnya, lewat cerpen Bukan Yem yang dimuat Jawa Pos, dia menceritakan dengan gamblang betapa sumirnya sebutan pahlawan devisa tersebut.
’’Saya cerita (di Bukan Yem) bagaimana serombongan pekerja migran perempuan dari berbagai negara pulang kampung dan mengalami banyak pengompasan di sepanjang perjalanan. Jadi, ketika di negara penempatan susah sekali mendapatkan kisah indah, nyatanya ketika pulang pun, di negeri sendiri mereka masih mengalami nasib yang buruk,” tuturnya kepada Jawa Pos.
Sekarang bekerja di Taiwan, Etik mulai bekerja sebagai BMI di Hongkong pada 2003. Di sela-sela beban pekerjaan harian, dia terus merawat kecintaannya pada menulis.
Berbagai cerpennya yang bertutur tentang dunia buruh migran termuat di berbagai platform. Dan, pengalaman itulah yang turut dia bagikan dalam forum diskusi Sastra Diaspora Indonesia (Indonesia Writing Abroad) yang diadakan Yayasan Lontar dua pekan lalu (15/11). Dua pemateri lain di acara tersebut adalah Soe Tjen Marching dan Joss Wibisono.
Bagi alumnus Universitas Gajayana, Malang, tersebut, menulis adalah bagian dari upaya dia dan rekan-rekannya memperjuangkan berbagai isu terkait BMI. Misalnya, soal peningkatan kesejahteraan.
’’Keberadaan kami penting karena 130 ribu buruh migran (di Taiwan) turut membuat 130 ribu majikan bisa melakukan pekerjaan mereka dengan tenang. Ya, wajar dong kami menuntut perbaikan nasib,’’ terangnya.
Masa pematangan Etik sebagai penulis berlangsung di Hongkong. Bonari Nabonenar, sastrawan asal Trenggalek, Jawa Timur, disebutnya sebagai guru menulisnya.
Dari begitu banyak huruf dan realitas kehidupan para buruh migran di Hongkong yang dihimpunnya dalam berbagai cerita, karakter Tulkiyem salah satunya. Sesosok tokoh dalam cerita pendek slapstick atau semacam genre penulisan bergaya humor atau satir.