Dia melaporkan, sumber air tidak ada di kawasan tersebut. Baik air tanah, maupun air permukaan sangat sulit untuk didapatkan. Tulisan yang diunggah ke media sosial itu kemudian viral. Dan sejak itu, dia terus-menerus menyampaikan hal tersebut. “Alhamdulillah, akhirnya secara resmi juga, sekitar 1–2 bulan yang lalu, saya menyerahkan banyak data ke pemerintah. Lewat webinar, saya serahkan semua data SHP (shapefile) saya, dikaitkan dengan data base GIS (Geographic Information System) ke siapa pun pihak yang membutuhkan,” ucapnya.
Sarjana Jurusan Geologi, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (ITB), itu menyampaikan data tersebut secara terbuka. “Bukan berarti saya anti pemindahan IKN. Tetapi banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus dilakukan pemerintah. Sehingga mereka atau kita semua bangsa Indonesia, tidak akan rugi di masa depan,” ungkapnya. Dia melanjutkan, hal itu dilakukan agar ke depannya pemindahan IKN ini, tidak mendatangkan dampak negatif. “Diakibatkan kita tidak tahu dan tidak mempersiapkan data-data awalnya,” kata mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) itu.
Kabag Pembangunan Setkab PPU Nicko Herlambang yang turut menjadi pemateri, sependapat dengan Andang Bachtiar. Desain calon IKN yang dimenangkan oleh Urban Plus itu, juga dinilai tidak realistis. Wilayah utara PPU yang merupakan Kecamatan Sepaku, merupakan wilayah pasang surut air laut. Dengan kemungkinan banjir dan sedimentasi cukup besar. Sehingga tidak dimungkinkan ada Danau Pancasila yang ada pada desain tersebut. “Teman-teman dari Jakarta nanya ke saya, di mana Danau Pancasila? Itu hanya utopia saja kalau saya bilang,” sindirnya.
Dalam maket desain bertema Nagara Rimba Nusa itu, terdapat sebuah danau yang diberi nama Danau Pancasila. Danau tersebut akan memuat lima nilai Pancasila dalam desain arsitekturnya secara keseluruhan. Nicko pun mengkritik jika calon IKN dibangun ke wilayah pesisir, akan mengganggu kelangsungan warga PPU yang sudah lama bermukim di sana. Mereka adalah masyarakat yang kebetulan pada saat izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) diterbitkan, mereka menjadi terpinggirkan. Dan terpaksa berada di wilayah yang tidak menyenangkan, terutama di wilayah mangrove. Sebab, mereka tidak bisa memasuki kawasan hutan.
“Makanya saya bilang, agak lucu, ketika memaksa untuk menjadikan wilayah HTI yang sekarang sudah ditebang dan ditanam, menjadi wilayah konservasi. Harusnya kita berharap zona wilayah tebang yang sekarang ada di wilayah ITCI itulah yang dibangun sebagai ibu kota. Wilayah pesisir, wilayah masyarakat kami itu bisa tetap hidup sebagai seperti eksisting sekarang,” jabar dia. (kip/riz/k8)