Novel Soe Tjen Marching tentang peristiwa 1965 berangkat dari karya akademiknya yang terbit lebih dulu. Cerpennya dalam bahasa Inggris pernah memenangi lomba, tapi dia tetap merasa lebih bebas menulis dalam bahasa Indonesia.
DEBORA D. SITANGGANG, Jakarta, Jawa Pos
APA yang tak bisa disampaikan nonfiksi bisa diceritakan fiksi secara lebih mendalam. Dari keyakinan itulah, lahir Dari Dalam Kubur.
Novel karya Soe Tjen Marching tersebut berangkat dari tulisan nonfiksinya yang lebih dulu diterbitkan Amsterdam University Press, The End of Silence: Accounts of the 1965 Genocide in Indonesia.
’’Saya pikir, kalau saya karang dalam novel, sisi gelapnya bisa muncul semua,’’ ungkap Soe Tjen saat berbincang lewat Zoom dengan Jawa Pos pada Selasa malam lalu WIB (17/11).
Soe Tjen tengah berada di London, Inggris, ketika itu, kota tempatnya menjadi dosen budaya dan linguistik di SOAS University of London. Ditemani anjingnya yang sibuk meminta air, dia bercerita tentang kisahnya menulis fiksi.
Soe Tjen menuturkan kembali kisah yang sempat dia sampaikan sekilas dalam Festival Lontar dan Jakarta Content Week pekan sebelumnya. Kala itu, perempuan kelahiran Surabaya tersebut diundang sebagai salah satu narasumber untuk sesi Indonesian Writing Abroad bersama dua penulis lain.
Dari Dalam Kubur menceritakan kisah tentang seorang perempuan bernama Karla berdasar sejarah nyata dalam peristiwa berdarah 1965. Karla yang sejak kecil, mengutip Marjin Kiri, merasa diperlakukan tidak adil oleh ibunya yang dia anggap misterius. Namun, tak ada seorang pun dalam keluarga yang membelanya.
Hal tersebut membuat Karla tak mempunyai pilihan selain menjauh dari keluarganya. Berpuluh tahun sesudahnya, barulah satu demi satu rahasia itu mulai terkuak baginya –bukan hanya rahasia yang menggelayuti keluarganya, melainkan juga banyak manusia lain.
Sastrawan Martin Aleida, seorang penyintas peristiwa 1965, memuji novel Soe Tjen Marching sebagai salah satu narasi penting tentang bagaimana perempuan, begitu juga gerakannya, dihancurkan dengan keji oleh militerisme di Indonesia. ’’Berlatar sejarah, dengan detail yang belum pernah diungkap selama ini,” tutur penulis Tanah Air yang Hilang itu, seperti dikutip dari situs Marjin Kiri.
Melalui karya fiksi, Soe Tjen merasa justru bisa membuka cerita-cerita kelam yang betul-betul dijaga dan dirahasiakan oleh sosok yang menjadi sumber penceritaannya yang sekaligus sumber penulisan karya akademiknya. Butuh waktu wawancara selama setahun, kemudian menyelesaikan buku akademik selama dua tahun, barulah Soe Tjen menuntaskan novelnya.
Sayangnya, karya yang hendak dia hadiahkan kepada sang narasumber itu sempat mandek. Gara-garanya, sang narasumber tersebut meninggal pada 2017.