Tak terasa tahun segera berganti. Sejak pandemi Covid-19 menyerang, nyaris seluruh sektor berhenti bergerak. Begitu pula sistem dunia pendidikan, yang seketika dirombak.
OKTAVIA MEGARIA, Balikpapan
Sejak Maret, tiba-tiba saja dunia pendidikan dikejutkan dengan sistem baru yang disebut belajar daring. Tidak ada lagi keceriaan berkumpul bersama kawan di dalam kelas. Atau mengerjakan tugas tatap muka yang diberikan guru usai pemaparan materi.
Semua murid harus berada di rumah. Tetap di rumah hingga bulan-bulan berikutnya. Namun, bukan sedang libur sekolah. Tetapi terus-terusan menatap layar laptop atau gawai. Yang menjadi media penghantar rentetan tugas-tugas dari wali kelas.
Tidak dibutuhkan lagi atribut lengkap penunjang belajar. Seragam, dasi, dan topi, yang dulu menjadi identitas keseharian para siswa. Buku dan pulpen pun hanya digunakan seperlunya.
Pengalaman ini, bahkan sampai sekarang, masih terasa asing bagi para pelajar. Seperti yang dirasakan Nayla Mazaya. Dirinya yang kini duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, mengaku kaget dengan pola baru tersebut.
Bahkan sempat tidak bisa menggunakan aplikasi ZoomMeeting, yang biasa menjadi media untuk pertemuan kelas. Hal itu pun diakui menjadi kendala, pada awal masa belajar daring. Walau seiring berjalannya waktu, dia bisa menggunakan aplikasi tersebut.
“Lama-lama sudah biasa. Sudah bisa digunakan aplikasi itu (ZoomMeeting), dan dapat banyak tugas,” kata dia.
Di samping itu, bukan hal asing lagi di telinga bahwa belajar daring lebih sulit ketimbang sekolah tatap muka. Remaja 11 tahun ini pun sepakat. Tumpukan tugas kerap diterima. Silih berganti masuk melalui gawai Senin hingga Sabtu.
Berbicara sistem belajar, Nayla berujar hanya rutin mengerjakan soal-soal yang dikirim ke grup WhatsApp orangtua dan sekolah. Sementara ntuk pertemuan, aturannya tidak menentu. Biasanya sekali dalam sepekan. Atau sekali dalam dua pekan. Dengan durasi pertemuan sekitar 40 menit.
Banyak menghabiskan waktu di rumah bukan berarti membuatnya lebih banyak bermain. Siswi SD 011 Balikpapan Tengah itu malah hanya memiliki sedikit waktu luang. Sebab, harus mengerjakan tugas-tugas sekolah. Waktu senggang yang tersisa, dimanfaatkannya untuk bermain gawai. Atau sesekali bersua teman.
Di tempat berbeda, dengan perasaan yang sama, diungkapkan pula oleh Nayla Fayza Gobel. Meski dia mengaku, perasaannya bercampur aduk. Antara sedih dan senang.
“Sedihnya enggak bisa kumpul sama teman-teman. Senangnya, mungkin karena enggak terlalu ribet dengan beli alat-alat tulis yang banyak. Jadi seperlunya saja,” tutur siswi yang kini duduk di bangku kelas IX SMP 22 Balikpapan Selatan itu.
Untuk hari belajar pun tak berbeda jauh. Setiap hari, kecuali Minggu, dua mata pelajaran harus ditempuhnya. Yang hanya berupa tugas rumah. Sedangkan pertemuan melalui aplikasi Google Class Room. Satu atau dua kali sepekan. Selama 30 menit.