Melawan Tantangan Industri Sawit

- Sabtu, 21 November 2020 | 13:35 WIB
LAWAN KAMPANYE NEGATIF: Gapki memastikan industri sawit Indonesia sudah menciptakan iklim kerja yang kondusif dan layak bagi para pekerjanya, termasuk perempuan.
LAWAN KAMPANYE NEGATIF: Gapki memastikan industri sawit Indonesia sudah menciptakan iklim kerja yang kondusif dan layak bagi para pekerjanya, termasuk perempuan.

Tekanan kepada industri kelapa sawit terus berdatangan. Belum selesai dengan kampanye negatif dari Swiss, salah satu penyumbang devisa negara terbesar ini dituduh melakukan eksploitasi terhadap pekerja perempuan. Padahal, isu ini tidak benar.

 

SAMARINDA–Ekspor produk kelapa sawit Indonesia ke Swiss terancam terhenti. Sebab, Swiss berencana menggelar referendum untuk menentukan boleh-tidaknya produk kelapa sawit diperdagangkan di Swiss. Bundeskanzlei, Mahkamah Konstitusi Swiss, menyetujui adanya referendum kelapa sawit asal Indonesia. Referendum untuk produk kelapa sawit tersebut diusulkan Uniterre sejak lama. Uniterre adalah LSM pertanian yang berbasis di Lausanne, Swiss Barat.

Dengan referendum, sedikitnya delapan juta rakyat Swiss akan mencoblos dan menentukan setuju atau tidaknya produk kelapa sawit Indonesia masuk negara mereka. Dalam keterangan persnya kepada wartawan, Bundeskanzlei menjadwalkan referendum kelapa sawit per 7 Maret 2021. Sebelumnya, Juni lalu, Uniterre berhasil mengumpulkan 61.719 tanda tangan petisi penolakan kelapa sawit.

Dari jumlah itu, sebanyak 61.184 dinyatakan sah. Itu artinya, kuota minimal 50 ribu tanda untuk mengusulkan diadakannya referendum, memenuhi syarat. Mengingat, padatnya jadwal referendum di Swiss, yakni empat kali dalam setahun, referendum kelapa sawit baru bisa dilaksanakan Maret tahun depan.

Bagi Kaltim, penolakan di Swiss sebenarnya tidak terlalu berdampak. Sebab, pangsa ekspor crude palm oil (CPO) Bumi Etam ke Eropa hanya sebesar 16,20 persen. Pangsa ekspor terbesar Kaltim masih berasal dari Tiongkok dan India, dengan kontribusi masing-masing mencapai 47,74 persen dan 11,37 persen. Namun, kampanye negatif ini berpotensi menyebar ke negara Eropa lainnya.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Muhammadsjah Djafar mengatakan, secara umum, gerakan menolak impor minyak sawit dari Indonesia dalam perjanjian dagang dengan Swiss dilakukan dengan alasan pemerintah Indonesia masih belum mau menerapkan standar lingkungan dan sosial untuk mencegah kerusakan hutan tropis.

Mereka menentang undang-undang dan peraturan yang diusulkan untuk konsesi pertambangan, proyek infrastruktur, kertas dan kehutanan. Para penolak impor sawit, berkeras bahwa ini akan berdampak buruk bagi iklim dan lingkungan, serta bagi petani kecil dan masyarakat adat. “Sebenarnya jika Swiss menolak impor CPO tidak akan berpengaruh banyak terhadap ekspor. Tapi penolakan tersebut bisa berdampak banyak bagi harga seiring dengan penurunan permintaan,” jelasnya, Jumat (20/11).

Sehingga penolakan tersebut harus bisa diatasi. Di Kaltim yang paling terasa pasti penurunan harga CPO. Dampaknya tentu bisa sampai kepada penghasilan petani. Sebab, setiap bulan perhitungan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit membutuhkan komponen harga CPO dunia, sehingga jika harga CPO turun otomatis harga TBS juga mengikuti.

Harga CPO selain disebabkan dari isu negatif selama ini juga tergantung supply and demand dari pasar global. “Sehingga penolakan yang dilakukan akan memengaruhi demand di pasar global yang berujung pada penurunan harga CPO,” tuturnya.

Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim Ujang Rachmad mengatakan, tuduhan seperti pemerintah Indonesia belum mau menerapkan standar lingkungan dan sosial untuk mencegah kerusakan hutan tropis dijawab dengan program kegiatan. Pihaknya juga aktif bekerja sama dengan para mitra pembangunan.

Kemudian ditunjukkan bahwa praktik perkebunan di Bumi Etam sudah menerapkan prinsip-prinsip perkebunan berkelanjutan yang menyeimbangkan sosial, ekonomi, dan lingkungan. “Beberapa kekurangan pasti ada, tapi strategi dan konsisten dengan perkebunan berkelanjutan sudah dilakukan,” tegasnya.

Dia mengatakan, dengan berbagai upaya yang dilakukan Kaltim pastinya lama-kelamaan akan terjawab tuduhan-tuduhan negatif tersebut. Sebab, tidak ada bukti konkret bahwa kelapa sawit menyebabkan kerusakan alam. Pemerintah tidak akan diam saja dengan tuduhan-tuduhan itu. “Ketahanan ekonomi kita bisa terganggu jika isu seperti itu terus berlangsung,” pungkasnya.

DIRUGIKAN TUDUHAN EKSPLOITASI PEREMPUAN

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X