Likuiditas Perbankan Masih Kuat

- Sabtu, 21 November 2020 | 13:32 WIB
BERI KETENANGAN: Berbeda dengan kondisi krisis 1998, saat ini likuiditas perbankan masih tinggi. Akan lebih efektif jika bisa dimanifestasikan dalam bentuk penyaluran kredit untuk menggerakkan sektor riil.
BERI KETENANGAN: Berbeda dengan kondisi krisis 1998, saat ini likuiditas perbankan masih tinggi. Akan lebih efektif jika bisa dimanifestasikan dalam bentuk penyaluran kredit untuk menggerakkan sektor riil.

JAKARTA–Di tengah resesi ekonomi, sektor jasa keuangan menunjukkan kinerja solid. Perbankan yang menjadi jangkar sektor keuangan bahkan menunjukkan likuiditas yang lebih kuat. Hal itu merupakan hasil nyata efektifnya concerted effort atau kolaborasi yang baik antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Ekonom Senior dari The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip mengatakan, saat ini industri perbankan memiliki likuiditas yang sangat kuat. Kondisi ini sangat berbeda dengan krisis 1998 di mana perbankan nasional mengalami kekeringan likuiditas dan pasar uang antarbank sangat ramai, bahkan bunga yang ditetapkan cukup tinggi.

“Ini menunjukkan kebijakan pre-emptive dan pengawasan industri perbankan sudah dijalankan dengan baik oleh OJK. Meski di sisi lain, penyaluran kredit perbankan baru tumbuh tipis, sehingga harus terus didorong,” ujarnya, Jumat (20/11).

Menurut Sunarsip, soliditas sektor perbankan ini bisa memberikan rasa confidence bagi pelaku usaha, regulator, maupun pemerintah dalam upaya pemulihan ekonomi nasional. Kekuatan likuiditas perbankan ini tecermin dari rasio alat likuid terhadap noncore deposit (AL/NCD) dan alat likuid terhadap pihak ketiga (AL/DPK).

Mengutip data OJK, per 21 Oktober 2020, rasio AL/NCD di posisi di level 154,14 persen dan AL/DPK 32,94 persen. Posisi ini meningkat dari periode Maret 2020 ketika Indonesia memasuki awal pandemi, di mana AL/NCD di posisi 112,9 persen dan AL/DPK 24,16 persen. Sementara itu, batas bawah yang ditetapkan adalah di level 50 persen untuk AL/NCD dan AL/DPK 10 persen. Artinya, likuiditas perbankan saat ini memang sangat kuat.

Sunarsip menjelaskan, kekuatan likuiditas perbankan tersebut akan bisa lebih efektif me-leverage pemulihan ekonomi jika bisa dimanifestasikan dalam bentuk penyaluran kredit untuk menggerakkan sektor riil. “Ini menjadi tugas bersama pemerintah selaku otoritas fiskal, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, serta OJK yang bertanggung jawab terhadap kebijakan mikro prudensial dalam hubungannya dengan industri perbankan,” jelasnya.

Dengan demikian, berbagai pelonggaran diperlukan agar kegiatan penyaluran kredit bisa kembali seperti semula. Semakin besar penyaluran kredit, recovery ekonomi nasional juga akan semakin cepat. “Kita lihat pertumbuhan kredit bank selama pandemi ini masih di kisaran 1 persen. Hal ini berkorelasi terhadap perekonomian nasional yang pada triwulan III terkontraksi sekitar 3 persen. Jika kredit didorong, pertumbuhan ekonomi akan ikut terangkat,” terangnya.

Dia menambahkan, dalam kaitannya dengan mendorong penyaluran kredit perbankan, meskipun perlu relaksasi sejumlah kebijakan, pengawasan harus tetap dilakukan secara maksimal. “Dalam hal ini, posisi OJK sangat strategis. Selain menyelaraskan kebijakan mikro prudensial agar bisa mendorong bergeraknya sektor riil, juga menjalankan peran pengawasan perbankan secara efektif,” tuturnya. (ndu2/k8)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X