Berpunca dari amandemen ke-2 UUD 1945, di mana terdapat penambahan hak atas informasi yang secara eksplisit disebut dalam Pasal 28F. Ini pertanda pengakuan negara terhadap hak atas informasi sebagai hak asasi dan sekaligus hak konstitusional warga negara.
Pengakuan ini menjadi landasan merumuskannya ke tingkat operasional. Maka lahirlah UU No.14 Tahun 2008 tentang KIP yang mengatur bukan hanya soal dimensi hak atas informasi, melainkan juga hak atas akses terhadap informasi dimaksud.
Implikasinya, presensi informasi yang dimiliki pemerintah (dan badan publik lainnya) menjadi bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik. Pengecualian dimungkinkan terhadap klasifikasi informasi “dikecualikan” atau “rahasia”, yang penentuannya dilakukan secara ketat dan terbatas, melalui pengujian konsekuensi, serta terikat dengan retensi waktu tertentu.
Perubahan besar itu pada akhirnya memberi ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan menjadi bagian dari proses pembangunan daerah dan bangsa. Inilah era ketika keterbukaan dan transparansi menjadi hal yang tak lagi tabu --bukan hanya untuk dibincangkan, melainkan juga-- untuk direalisasikan dengan dukungan kuat sebuah undang-undang.
Hak atas informasi ini makin konsekuensial, mengingat penyelenggara negara dan pemerintahan kian merasa diawasi dalam melaksanakan tugas. Ini akan menyisih praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan dan pada gilirannya menghadirkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Tampak jelas bahwa UU KIP bertujuan melindungi dan memberikan jaminan atas hak warga negara terhadap informasi publik. Bahkan sebelum sebuah kebijakan publik diputuskan, warga negara sudah berhak mengetahui rencana pembuatannya, termasuk alasan pengambilan suatu keputusan publik.