Oleh:
Tika Andriya
Guru SMP 6 Loa Kulu, Fasilitator Daerah Tanoto Foundation
MASA pandemi membatasi banyak hal. Termasuk proses belajar-mengajar. Terlebih jika materi menuntut peserta didik untuk praktik, menguji teori yang ada di buku mereka.
Itu saya alami ketika mengajar bidang studi IPA untuk 62 siswa kelas VII di SMP 6 Loa Kulu, Kutai Kartanegara. Materi yang sedang kami pelajari tentang penjernihan air sederhana melalui metode penyaringan.
Melalui portal Kukar Pintar garapan Pemkab Kukar, saya lebih dulu melakukan presentasi lewat platform Zoom Meeting. Untuk pengawasan, kami bermitra bersama orangtua.
Siswa pun menyiapkan peralatan seperti botol bekas, batu kerikil, arang kayu, sabut kelapa, kain kasa, air kotor, dan dua gelas plastik. Saya memandu mereka lewat lima pertanyaan yang menjadi rumusan masalah.
Intinya adalah mengetahui pengaruh saat air bersih melalui proses penyaringan. Untuk memandu jalannya praktik, saya merumuskan lima penugasan dan pertanyaan kepada siswa.
Pertama, menyiapkan seluruh bahan, lalu membuat alat sesuai contoh. Lalu memasukkan air kotor ke alat tersebut, disusul dengan air jernih. Siswa juga saya beri ruang berpikir, bagaimana agar air kotor menjadi jernih. Terutama dengan menggunakan dua medium utama, yakni sabut kelapa dan kain kasa.
Medium yang digunakan beragam. Selain kain kasa dan sabut kelapa, ada kapas, tumpukan pasir, serta arang.
Melihat alat yang sederhana, tingkat keberhasilan memang beragam. Namun, inilah yang justru menjadi pemantik rasa ingin tahu dari para peserta didik.
Seperti yang dialami Nur Syifa. Dia mencoba menyaring dua jenis air berbeda, yakni air kotor dan air jernih. Hasilnya, air kotor yang disaring masih terendap lumpur, berbau, dan berwarna kuning sedangkan air jernih tetap jernih.
Setelah dibantu orangtua, Nur Syifa menambah kapas sebagai tambahan. Juga arang kayu dan lebih banyak sabut kelapa. Dan menyaring ulang air kotor, ternyata air kotor tersebut tidak menyisakan lumpur, serta berwarna jernih, tapi masih sedikit berbau.