Sudah enam bulan, musim hujan atau tidak, di pengujung tahun ini rasanya sama saja. Semua usaha banyak yang tutup dan harus di rumah saja. Mereka yang memiliki gawai dan kuota tetap tentu saja masih bisa menjual hasil usahanya melalui jaringan di berbagai aplikasi.
Namun, tidak bagi Tiwi. Jualan rotinya semakin sepi pembeli. Tiwi tak memiliki kuota yang cukup untuk memasarkan usahanya di berbagai aplikasi. Bahkan gawainya pun kini mulai sering restart sendiri. Meminta istirahat memikul beban memori yang terlalu berat.
Sisa roti yang tak laku Tiwi berikan pada adiknya yang kelaparan. Tak makan nasi, roti pun jadi. Namun, sepotong roti selalu dia taruh di pinggir daun jendela, berharap ada burung-burung merpati yang hinggap berpesta pora dan menjadikan satu hari kegembiraan menatap jenakanya mereka. Ada empat merpati yang biasa bertengger di sana. Tiwi melihatnya sebagai sebuah keluarga; abah, mamak, dan adiknya Tinung. Ya, Tiwi mengenang keluarga kecil mereka dua bulan yang lalu.
“Abah sudah berhenti ngojek?”
“Bukan berhenti, memang harus istirahat. Abah batuk terus beberapa hari ini.”
“Ayo ke rumkit … Tiwi boncengin sini,” Tiwi meletakan roti-rotinya pada lemari kaca dan meminta Tinung menunggui jualan. Sementara mamak di rumah orang mengurusi laundry.
“Abah takut … musim covid ini. Gimana kalau Abah tertular?”
“Ya makanya justru harus cepat periksa toh, Abah… ‘kan semakin cepat terdeteksi makin baik, biar cepat ditangani. Biar cepat sehat.” Tiwi setengah memaksa abahnya dan bergegas mengemasi kartu BPJS, sarung, sangu roti, dan air mineral.
Setelah beberapa kali dibujuk, barulah Abah mengangguk dan pasrah dalam boncengan Tiwi. Di perjalanan badan Abah menggigil, tulang-tulangnya terasa linu. Perasaan Tiwi tidak nyaman.
Di rumah sakit, mereka diarahkan menjalani rapid test terlebih dahulu. Besoknya sudah ketahuan hasilnya. Abah positif terindikasi Covid-19. Tiwi pun OTG. Abah ditahan tak boleh pulang dan masuk ke ruang isolasi. Tiwi hanya sempat melihat bulir-bulir air berjatuhan di sudut-sudut mata yang telah banyak lipatannya itu.
“Abah… tunggu nanti. Empat belas hari dari sekarang Abah akan sembuh, nanti Tiwi jemput.”
Abah mengangguk, ujung sarung Samarinda yang dikenakannya diusapkan ke kelopak netra yang berkerut itu.
Esoknya satu mobil petugas medis mendatangi rumah mereka dan melakukan swab test seluruh anggota keluarga. Hasilnya, mamak juga positif. Diangkut bersama ambulans dengan sirene meraung-raung, merampok sedikit kebahagiaan keluarga kecil berpanggung gubuk tripleks dan kayu sirap itu.