Merawat Mangrove, Merawat Mata Pencaharian

- Selasa, 17 November 2020 | 17:57 WIB
LINDUNGI EKOSISTEM: Kurniansyah menunjukkan lahan tambak yang juga ditanami mangrove di Desa Muara Adang, pekan lalu.NOFIYATUL CHALIMAH/KALTIM POST
LINDUNGI EKOSISTEM: Kurniansyah menunjukkan lahan tambak yang juga ditanami mangrove di Desa Muara Adang, pekan lalu.NOFIYATUL CHALIMAH/KALTIM POST

Dari tepi Teluk Adang, Kabupaten Paser, sebuah desa bakal berkontribusi untuk dunia. Desa ini dikenal dengan nama Muara Adang. Sebuah desa tua yang sudah ada sejak zaman Belanda.

 

NOFIYATUL CHALIMAH, Paser

 

MAYORITAS masyarakat Muara Adang di Kecamatan Long Ikis hidup dari teluk. Menjadi nelayan dan petambak udang serta bandeng, jadi cara mereka mengais rezeki. Tak sekadar mengambil, desa ini juga berupaya menjaga alam. Seperti yang banyak diketahui, pembukaan tambak berisiko pada degradasi mangrove. Namun, desa ini berkomitmen menjaga 3 ribu hektare tutupan hutan mereka yang mayoritas berupa mangrove.

Selain hutan mangrove yang masih asli, mereka juga melakukan silvofishery alias mengembangkan tambak ramah lingkungan sejak dua tahun lalu. Upaya ini turut berkontribusi menekan gas emisi dunia. Silvofishery adalah alternatif untuk menjaga pelestarian hutan mangrove tapi tetap bisa menjaga budi daya tambak yang ada. Caranya dengan menanam salah satu jenis pohon mangrove di areal tambak. Cara ini menjadi upaya penghijauan sekaligus budi daya bandeng, udang windu, dan kerang hijau yang dilakukan di kawasan mangrove, tanpa harus mengonversi, terlebih mengancam fungsi ekologi mangrove.

Kepala Desa Muara Adang Kurniansyah mengatakan, tak mudah mengampanyekan silvofishery kepada petambak di desanya itu. Dia perlahan memberi pemahaman kepada masyarakat di desa yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda tersebut. Sejak dua tahun lalu, silvofishery perlahan dimulai di desa ini. Memang tak mudah karena banyak masyarakat yang enggan karena takut jika mereka menanam mangrove, bisa berakibat tambak mereka diambil pemerintah.

Pasalnya, sejak 1982, status di desa itu adalah cagar alam. Meski desa sudah ada sejak berabad-abad lalu. Sehingga, kekhawatiran warga pun muncul. Namun, sejak 2018, sudah 90 hektare lahan tambak dan udang yang ditanam pohon bakau. Diharapkan, 90 hektare ini menjadi contoh untuk petambak lain melakukan hal serupa. "Dari 2018, ada 25 hektare penanaman pertama. Tahun ini 70 hektare. Jadi, total 90 hektare," kata Kurniansyah.

Diakui Kurniansyah, keberadaan mangrove ini memiliki banyak manfaat. Mulai menjadi rumah favorit ikan, menyehatkan ikan di tambak, dan bermanfaat bagi para pemilik sarang burung walet. Apalagi di desa ini tak sedikit warga yang memiliki usaha burung walet. Di Muara Adang, pemandangan rumah sarang burung walet di sekitar tambak ramah lingkungan jadi hal yang mudah ditemui.

Memang diakui Khairul, salah satu pemilik sarang burung walet yang bersebelahan dengan tambak silvofishery di utara desa, adanya mangrove berefek pada burung walet. "Kalau ada mangrove, itu bisa buat makanan burung. Makanya, walet suka dekat mangrove," kata Khairul yang sudah dua setengah tahun menggeluti usaha ini. Hasil yang didapat pun cukup lumayan. Sekali musim panen, bisa tiga bulan sekali. Selain itu, sedikitnya dia menerima Rp 11 juta untuk satu kilo sarang burung walet. Jadi, menurut dia, simbiosis antara mangrove, tambak, dan sarang burung walet menjadi saling menguntungkan.

Sementara itu, dijelaskan konsultan program pengurangan emisi berbayar Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Carbon Fund Reonaldus, desa ini sudah melakukan adaptasi dan mitigasi program perubahan iklim yang menjadi target FCPF Carbon Fund 2020–2021. Lelaki yang akrab disapa Reo itu mengatakan, dari upaya penanaman mangrove di tambak, berarti masyarakat desa sudah memiliki kesadaran menjaga kawasan hutan. Apalagi, mereka sudah berkomitmen tak menyentuh 3 ribu hektare hutan mangrove alami yang masih ada.  Karena itu, desa ini menjadi satu di antara 161 desa di Kaltim yang terpilih untuk masuk program FCPF-CF.

"Dari penerapan free, prior, informed and consent (FPIC) atau persetujuan di awal tanpa paksaan (Padiata). Masyarakat Desa Muara Adang juga sudah menyatakan komitmen menjadi pelaksana program FCPF Carbon Fund," kata Reo. Dalam program ini, desa yang berhasil menjaga tutupan hutannya dan menghasilkan karbon akan mendapatkan keuntungan berupa insentif. Lanjut Reo, benefit lain tak cuma ekonomi. Salah satunya soal air bersih yang menjadi masalah di Desa Muara Adang. "Kalau mangrove banyak, potensi air bersih ada. Mangrove bisa jadi netralisasi air asin, sehingga masyarakat bisa dapat air tawar," jelas dia.

Dari program ini, tutur Reo, jika persetujuan sudah didapatkan, mereka akan dimasukkan dalam program dan insentif akan dibayarkan selama tiga tahun. Diketahui, Kaltim ditunjuk menjadi provinsi pertama di Indonesia dalam program ini pada 2015 lalu. (riz/k16)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X