Di luar Jawa, hanya Kaltim yang memiliki aset penting ini; Instalasi Kedokteran Nuklir. Menangani berbagai penyakit. Untuk penyakit tertentu, bisa menumbuhkan angka harapan hidup hingga di atas 80-90 persen.
KEBERADAAN Instalasi Kedokteran Nuklir RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS) Samarinda sangat krusial. Tidak sebatas membantu pengobatan pasien di Kaltim. Juga, bermanfaat bagi pasien berbagai daerah lain, terutama Indonesia bagian timur. RSUD AWS menjadi satu-satunya yang memiliki instalasi ini di luar Pulau Jawa.
Kedokteran nuklir merupakan ilmu kedokteran yang menggunakan energi radiasi terbuka dari inti nuklir yang bisa berfungsi untuk diagnostik dan terapi. Baik menilai fungsi suatu organ, mendiagnosis, dan mengobati penyakit. Caranya menggunakan zat radioaktif sebagai obat bagi pasien yang disebut radiofarmaka.
Sejak diresmikan pada 2018, Instalasi Kedokteran Nuklir RSUD AWS telah membantu berbagai jenis kasus penyakit. Kepala Instalasi Kedokteran Nuklir RSUD AWS Dokter Habusari Hapkido SpKN mengatakan, diagnostik bisa dilakukan karena hampir semua organ bisa terlihat fungsinya.
“Otak, paru, jantung, ginjal, tulang, onkologi, kanker, neurologi, semua bisa. Banyak manfaat menggunakan teknologi kedokteran nuklir,” sebut Kido, sapaan akrabnya. Diagnostik tepatnya menggunakan sinar gamma yang bisa menembus jaringan tubuh manusia yang direkam distribusinya dalam tubuh melalui kamera gamma.
Alat ini disebut sangat aman karena kamera gamma tidak menghasilkan radiasi. Hanya, radiasi berasal dari pasien sendiri. Yakni dari obat (radiofarmaka) yang telah diberikan. Diagnostik ini bersifat tambahan. “Jika pemeriksaan penunjang lain belum jelas bisa alternatif menggunakan kedokteran nuklir,” sebutnya.
Selain diagnostik, kedokteran nuklir bisa digunakan sebagai terapi. Saat ini, ada tiga jenis terapi yang memanfaatkan Instalasi Kedokteran Nuklir di RSUD AWS. Di antaranya terapi mengobati tiroid ringan, kanker tiroid pasca-operasi dengan ablasi, dan nyeri tulang yang biasanya penyakitnya sudah menyebar luas di tulang.
“Bisa menggunakan radiasi kedokteran nuklir untuk mengurangi rasa sakit pada pasien nyeri tulang,” ungkapnya.
Sementara pasca-operasi pengangkatan tiroid, pasien dianjurkan melakukan terapi ablasi. Pasien mendapat radioaktif sebagai obat untuk membuat sel kanker pada kelenjar tiroid hilang.
Dokter spesialis kedokteran nuklir ini menjelaskan, terapi menggunakan radiofarmaka sebagai obat bisa melalui tiga cara. Mulai diminum, dihirup, dan disuntik. Metode dihirup berlaku bagi diagnostik paru. Kemudian ada pula yang disuntik, semua bergantung kebutuhan pasien.
“Misalnya untuk pasien kanker tiroid ablasi, radioaktif sebagai obat ini diminum masuk metabolisme tubuh dan menuju target organ,” ujarnya. Dia menyebutkan, kesuksesan terapi kanker tiroid menggunakan kedokteran nuklir sudah established dan pilihan dalam pengobatan kanker tiroid.
“Penanganan kanker tiroid sudah diakui selama ini salah satu cara yang ampuh dengan kedokteran nuklir,” tutur alumnus Spesialis Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Penanganan kanker tiroid setelah operasi ditambah ablasi membuat angka harapan hidup besar. Bahkan di atas 80-90 persen.
“Penanganan kanker tiroid jika hanya operasi kemungkinan bisa kambuh lagi cukup tinggi. Tapi kalau ditambah ablasi dengan kedokteran nuklir angka kekambuhan bisa rendah,” bebernya. Ini yang membuat keberadaan kedokteran nuklir sangat terasa bermanfaat menjadi opsi penanganan pasien.