Rancangan Undang-Undang (RUU) Minuman Beralkohol Picu Pro Kontra

- Sabtu, 14 November 2020 | 11:03 WIB
minuman beralkohol ilegal yang disita kemudian dimusnahkan.
minuman beralkohol ilegal yang disita kemudian dimusnahkan.

JAKARTA– Rancangan Undang-Undang (RUU) Minuman Beralkohol (Mihol) terus memicu pro-kontra. Kalangan pengusaha yang bernaung dalam Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan mendukung RUU tersebut. Namun, harus ada pengecualian untuk tempat-tempat khusus.

Ketua PHRI Dwi Cahyono mengatakan, pada prinsipnya, pihaknya mendukung jika pemerintah ingin memperketat peredaran mihol dalam konteks membatasi peredaran umum dan pencegahan kejahatan akibat minuman keras. Namun, ada aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, mempertahankan izin mihol di tempat tertentu, khususnya pariwisata. ’’Kalau itu tidak diatur dengan baik pasal demi pasal, disesuaikan dengan kebijakan daerah, dan segala macam khususnya untuk pariwisata, tentu akan sangat berdampak,’’ ujar Dwi kemarin.

Dwi menyatakan, sejak RUU tersebut ramai diperbincangkan beberapa waktu terakhir, banyak pihak seperti travel agent dan calon wisatawan yang menanyakan kepada PHRI. ’’Ada ketakutan, ini kalau minuman beralkohol tidak boleh, wisatawan asing nggak mau ke Indonesia. Mending ke Malaysia atau ke mana yang tidak dilarang (mihol, Red),’’ tambahnya.

Dwi sangat memahami bahwa Indonesia merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya muslim. Namun, di sisi lain, wisatawan asing juga memberikan sumbangan devisa yang besar. Bagi wisatawan mancanegara, mihol menjadi fasilitas yang selalu dicari di tempat-tempat seperti hotel, restoran, dan kafe. ’’Karena bagi orang luar negeri, itu sudah jadi minuman sehari-hari. Maka, perlu dipikirkan detailnya supaya tidak ada kekhawatiran,’’ ungkapnya.

Menurut Dwi, aturan di sektor pariwisata saat ini sebenarnya cukup baik soal perizinan mihol. Salah satunya kewajiban melapor bagi tempat-tempat yang sudah mendapatkan izin, termasuk hotel dan restoran. Namun, di RUU yang baru diajukan, ada pasal tentang sanksi konsumsi dan distribusi yang belum diperjelas tata teknisnya. ’’Ini sebetulnya kan tidak jelas, tidak tersampaikan dengan baik informasinya. Jika seperti itu, akan menjadi ketakutan,’’ urainya.

Dwi menegaskan, PHRI di tingkat nasional segera berdiskusi dan membahas saran yang dapat disampaikan kepada pemerintah. Sebelum RUU itu disahkan, pengusaha sangat berharap DPR bisa mendengar pendapat dari berbagai perspektif, termasuk kalangan bisnis. ’’Itu yang kita diskusikan nanti. Kita akan berikan masukan-masukan. Apa saja dampaknya bagi pariwisata. Kalau untuk keamanan, kita setuju ada pembatasan peredaran di jalan,’’ tandasnya.

Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menyatakan, mihol sudah jelas tidak baik. ’’Baik menurut agama maupun menurut ilmu, terutama ilmu kesehatan,’’ katanya.

Tokoh Muhammadiyah itu menuturkan, tugas pemerintah adalah melindungi rakyat. Selain itu, pemerintah mengetahui bahwa mihol tersebut berbahaya bagi yang mengonsumsi. Karena itu, dia menilai sudah sewajarnya DPR bersama pemerintah membuat aturan untuk melindungi rakyat supaya tidak jatuh sakit. Selain itu, supaya tidak melanggar ajaran agama.

Dia mengatakan, banyak fakta bahwa meminum mihol atau minuman keras berdampak buruk bagi kesehatan. Bahkan bisa sampai meninggal. Penularan penyakit seperti HIV atau AIDS pun, menurut dia, antara lain diawali dengan menenggak miras.

’’Karena itu, menurut saya, dalam membuat UU tentang miras ini, pemerintah jangan tunduk kepada keinginan pedagang (mihol, Red),’’ katanya. Selain itu, pemerintah jangan sampai kalah oleh pihak-pihak yang mencari untung dengan merugikan atau merusak fisik serta jiwa masyarakat. Menurut dia, mengonsumsi miras sama halnya dengan menggunakan narkoba.

Dia menegaskan, pemerintah bersama DPR harus mengambil sikap tegas. Yakni, membuat kebijakan terbaik untuk rakyat. Menurut Anwar, diutak-atik dengan analisis apa pun, miras atau mihol memiliki dampak buruk yang jauh lebih besar ketimbang dampak baiknya. ’’Lalu, apakah pemerintah dan politisi di negeri ini akan menutup mata terhadap hal demikian?’’ ujarnya.

Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan, RUU Mihol sangat penting dan mendesak. Sebab, konsumsi alkohol merupakan salah satu masalah yang berdampak buruk terhadap kesehatan, kejahatan, moralitas, dan keamanan.

Banyak tindak kejahatan dan kecelakaan lalu lintas yang fatal. ’’Dan berbagai penyakit bermula dari konsumsi alkohol yang berlebihan,’’ terang Mu’ti kepada Jawa Pos kemarin (13/11). Maka, konsumsi minuman beralkohol harus diatur secara ketat.

Guru besar pendidikan agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menuturkan, RUU Mihol minimal harus mengatur empat hal. Yaitu, kadar alkohol maksimal dalam minuman yang diperbolehkan, batas usia minimal yang boleh mengonsumsi, tempat konsumsi yang legal, dan tata niaga atau distribusi yang terbatas.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X