Rizal tak pernah memberi penjelasan. Tapi, masyarakat bisa membuat asumsi dan kesimpulan sendiri. Misalnya, ini karena kader NasDem Ahmad Basir (AHB) yang getol mencalonkan diri dalam Pilkada Balikpapan tapi tak dapat dukungan partai politik. Sehingga lebih baik frontal menolak paslon RT.
Atau bisa juga Rizal melalui NasDem menawarkan kepada warga untuk menghidupkan demokrasi. Karena bukankah sebuah kontestasi harus ada lawannya, sehingga perlu mengelus-elus Kokos. Atau mungkin ada bargaining politik lain yang tak perlu diketahui warga kota. Atau seribu kemungkinan alasan lainnya.
Warga atau pemilih boleh jadi tak perlu tahu alasan itu. Tapi mencoba menyeret-nyeret ASN --meski tipis tipis-- dalam urusan pilkada jelas bukan hal elok. Selain karena telah ada larangan yang termaktub dalam UU ASN No 5/2014, pada gilirannya kerugian akan dirasakan oleh ASN itu sendiri.
Berdiri di tengah dan konsisten menjadi pelayan publik adalah satu-satunya pilihan ASN sejak kali pertama meniatkan diri menjadi abdi negara.
Tapi ini Republik 62. Ada adagium peraturan dibuat untuk dilanggar. Sudah terlalu banyak contoh, meski ada larangan, ASN condong dan mendukung salah satu paslon selalu ada dalam pilkada. Terutama mereka yang ingin mengamankan posisi jabatan, atau yang ingin cari jabatan, sekaligus menendang jauh-jauh pejabat sekarang.
Apatah lagi suara ASN dan keluarganya cukup seksi dan lumayan signifikan dalam pilkada. Di Kota Minyak misalnya, jumlah ASN di lingkup Pemkot Balikpapan mencapai 4 ribuan di luar tenaga bantu yang mencapai 6 ribu. Itu belum termasuk guru PNS dan honor yang mencapai 2 ribuan. Digabung dengan keluarga mereka, suara-suara ini terhitung lumayan.