Keberadaan PLTU Teluk Kadere kerap dibanggakan. Diklaim menjadi sumber pendapatan daerah. Juga menyerap tenaga kerja. Namun, bagi warga RT 15 Lok Tunggul yang hidup berdampingan dengan PLTU, kehadiran pabrik itu tak berarti banyak. Mereka tetap hidup dalam gelap.
FITRI WAHYUNINGSIH, Bontang
Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Kadere di Bontang Lestari laiknya dua sisi mata uang. Di satu sisi, PLTU menjadi kebanggaan sekaligus keuntungan bagi Bontang. Kebanggaan, lantaran kota kecil ini memiliki PLTU yang sanggup memproduksi energi 2x100 megawatt (MW).
Namun, di sisi lain, keberadaan PLTU justru membuat masyarakat setempat yang sudah di pinggir, makin termarginalkan. Padahal masyarakat telah bermukim jauh sebelum industri bersinggungan dengan kebun dan rumah-rumah kayu mereka. Degradasi lingkungan pun sulit dielakkan dari keberadaan PLTU.
"Beginilah kondisi kami di Lok Tunggul. Sudah di pinggir posisinya, makin terisolasi karena dihalang PLTU," ujar Ketua RT 15 Lok Tunggul, Ahmad Zainal Abidin, Rabu (11/11).
Pria yang berprofesi sebagai pendidik itu tengah menjelaskan soal tugas matematika kepada dua bocah SD di teras rumahnya yang sederhana ketika disambangi awak media.
Sangat sulit bagi Abidin menjelaskan sumbangsih PLTU kepada masyarakat setempat. Pasalnya, sejak perusahaan itu berdiri, tak ada perubahan berarti yang terjadi di Lok Tunggul. Padahal mereka bersinggungan langsung dengan PLTU.
Jalan lingkungan di RT 15 Lok Tunggul tak diaspal sama sekali. Walhasil, ketika hujan, jalan tak ubahnya jalur off road. Becek dan mengganggu mobilitas warga.
Tak berhenti di situ. Jaringan listrik PLN dan jaringan air PDAM Tirta Taman pun tak menjangkau kediaman warga. Di RT 15 setidaknya bermukim 72 kepala keluarga (KK) dengan estimasi 235 penduduk.
Kondisi ini cukup kontras. Mengingat PLTU notabene memproduksi energi, salah satunya untuk keperluan listrik. Kendati listrik tersebut tidak bisa langsung dialiri ke rumah warga, PLN lah yang meneruskan ke masyarakat.
"Biasanya perusahaan ada CSR ke warga. Kalau ini saya rasa masih sangat kurang," ujarnya. Untuk keperluan air, warga mengandalkan satu sumur bor. Itu digunakan secukupnya untuk keperluan makan dan mandi. Sementara untuk sumber aliran listrik, warga memanfaatkan energi surya (solar cell). Namun, ini pun bukan tanpa persoalan.
Sebab, sejak pekan lalu, solar cell rusak. Beberapa warga yang mampu memanfaatkan genset barang beberapa waktu untuk listrik. Sementara mereka yang tidak sanggup secara finansial, harus rela tanpa listrik. Gelap gulita di rumah. "Ya mau tidak mau. Terpaksa harus gelap-gelapan," ungkapnya.