“Ada juga bantu Pak Ismu (Ismunandar) untuk kegiatan haul di Banjarmasin,” ulasnya. Dari puluhan proyek yang dipegangnya itu, tak semua yang sudah dibayar Pemkab Kutim. Baru sekitar setengah yang dilunasi dengan keuntungan sekitar 13-15 persen. Sisanya masih terkatung terkena pemangkasan anggaran imbas Covid-19. “Proyek sisa yang belum dibayar itu ya dikerjakan pakai keuntungan itu. Saya putar lagi itu uang,” tutupnya.
Ketika gilirannya, Deky mengaku sejak awal menolak jika dirinya dilibatkan dalam urusan politik yang tengah diikuti Ismunandar. Saat itu, Musyaffa yang notabene seniornya di salah satu organisasi tak memaksanya dan meminta bantuan ke dirinya beberapa kali. “Saat itu kanda (Musyaffa) minta bantuan mau pinjam uang. Ketika saya ada, ya dibantu, terlebih saya dapat kerjaan di Kutai Timur dibantu dia,” akunya. Termasuk pemberian uang sekitar Rp 2,25 miliar yang dititipkannya ke staf Musyaffa pada Juni 2020.
“Saya tak pernah berkomunikasi dengan bupati (Ismunandar). Semua permintaan dari kanda, makanya saya bantu. Saya tahu uang itu mengalir ke bupati ketika kasus ini,” sambungnya. Disinggung JPU KPK mengapa tak menolak permintaan Musyaffa itu, terdakwa Deky Aryanto menuturkan, “Saya enggak enakan orangnya,” jawabnya. Soal pemberian uang dan barang ke Encek UR Firgasih, diakuinya terjadi pada 2019. Memang, sambung dia, pada 2018, dia mendapat beberapa kegiatan yang pendanaannya bersumber dari pokok pikiran milik Encek di DPRD Kutai Timur. Dari kegiatan itu, dia menyisihkan uang sebagai komisi tapi dana itu tak diterima langsung Encek.
“Karena bunda biasanya minta uang itu untuk kerjakan beberapa kegiatan konstituen dia yang tak terakomodasi di APBD,” bebedanya. Tak semua dari permintaan untuk menghandel kegiatan-kegiatan itu diamininya. Pada 2020, dia memang diminta Musyaffa untuk menghandel proyek PL di Dinas Pendidikan Kutim. Total ada 407 kegiatan dengan nilai Rp 150-175 juta per kegiatannya. Semua kegiatan itu diperolehnya berbekal daftar kegiatan PL yang disusun staf Dinas Pendidikan Kutai Timur atas arahan Musyaffa. Dari daftar itu, dia meminjam bendera perusahaan lain untuk menghandel semua kegiatan itu.
“Karena enggak mungkin dengan bendera saya. Dibatasi lima kegiatan saja. makanya perlu pinjam bendera lain. Semua saya kerjakan sendiri,” tutupnya. Selepas keduanya menjalani pemeriksaan terdakwa, majelis hakim pengadilan Tipikor Samarinda yang dipimpin Agung Sulistiyono bersama Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo mengagendakan kembali persidangan pada 16 November mendatang dengan agenda pembacaan tuntutan dari JPU. (ryu/riz/k16)