Sebelum 2014, ada lima tahun perjalanan mengakomodasi anak berkebutuhan khusus secara mandiri. Tidak seperti Samarinda atau Balikpapan, atau mungkin Tenggarong yang menjadi tetangga dekat dari Loa Kulu. Berangkat dari situlah, pada 2009, saya memberanikan diri membuka kelas inklusi, untuk mengakomodasi kebutuhan belajar dari anak-anak istimewa di sekitar sekolah.
Keberanian itu sebenarnya bagian dari mimpi untuk mewujudkan pendidikan yang dapat dienyam setiap warga negara. Sebab, sepanjang karier saya di pendidikan, banyak saya dapati ABK ditolak oleh sekolah reguler. Sementara di sisi lain, tidak ada sekolah luar biasa (SLB) yang terjangkau. Baik secara geografis maupun biaya.
Masyarakat, bahkan sampai saat ini masih ada yang berpikiran kalau ABK menjadi penghambat pencapaian proses belajar. Yang pertimbangannya, tentu karena keterbatasan fisik dan mental mereka.
Pada 2009, saya yang sudah menjabat kepala SD 003 Loa Kulu, menerima siswa ABK pertama. Tantangannya, tentu keterbatasan pengetahuan sekaligus personel yang dapat menangani anak-anak istimewa itu.
Akhirnya saya memberanikan diri, melobi kerja sama dengan salah satu SLB di Tenggarong. Kesepakatan didapat. Guru SLB menjalani masa ajar cukup panjang di sekolah saya. Hingga 3,5 tahun. Dan selama itu, dia menularkan ilmunya kepada tim guru kami. Sehingga pada 2014, barulah Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Kartanegara memberikan surat keputusan penetapan sekolah kami sebagai sekolah inklusi.
Meski telah berjalan dalam hitungan tahun, tantangan tak berhenti. Tidak semua guru memiliki pandangan yang sama terhadap ABK. Belum lagi kendala wali murid normal yang melarang anaknya bergaul dengan ABK.