Oleh:
Suwarni MPd
Kepala SD 003 Loa Kulu, Fasilitator Daerah Tanoto Foundation
KELAS inklusi relatif lebih mudah didapati di wilayah perkotaan. Apalagi kota-kota besar. Padahal, kehadiran anak berkebutuhan khusus (ABK), tak pandang tempat. Dan semuanya butuh pendidikan yang tepat.
Saya ingin bercerita tentang perjuangan panjang SD 003 Loa Kulu di Kutai Kartanegara. Perjuangan agar secara resmi mendapat tugas sebagai pelaksana kelas inklusi, yang akhirnya didapat pada 2014 didapat. Agar kebutuhan belajar “anak-anak istimewa” dapat terakomodasi seperti seharusnya.
Sebelum 2014, ada lima tahun perjalanan mengakomodasi anak berkebutuhan khusus secara mandiri. Tidak seperti Samarinda atau Balikpapan, atau mungkin Tenggarong yang menjadi tetangga dekat dari Loa Kulu. Berangkat dari situlah, pada 2009, saya memberanikan diri membuka kelas inklusi, untuk mengakomodasi kebutuhan belajar dari anak-anak istimewa di sekitar sekolah.
Keberanian itu sebenarnya bagian dari mimpi untuk mewujudkan pendidikan yang dapat dienyam setiap warga negara. Sebab, sepanjang karier saya di pendidikan, banyak saya dapati ABK ditolak oleh sekolah reguler. Sementara di sisi lain, tidak ada sekolah luar biasa (SLB) yang terjangkau. Baik secara geografis maupun biaya.
Masyarakat, bahkan sampai saat ini masih ada yang berpikiran kalau ABK menjadi penghambat pencapaian proses belajar. Yang pertimbangannya, tentu karena keterbatasan fisik dan mental mereka.
Pada 2009, saya yang sudah menjabat kepala SD 003 Loa Kulu, menerima siswa ABK pertama. Tantangannya, tentu keterbatasan pengetahuan sekaligus personel yang dapat menangani anak-anak istimewa itu.
Akhirnya saya memberanikan diri, melobi kerja sama dengan salah satu SLB di Tenggarong. Kesepakatan didapat. Guru SLB menjalani masa ajar cukup panjang di sekolah saya. Hingga 3,5 tahun. Dan selama itu, dia menularkan ilmunya kepada tim guru kami. Sehingga pada 2014, barulah Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Kartanegara memberikan surat keputusan penetapan sekolah kami sebagai sekolah inklusi.
Meski telah berjalan dalam hitungan tahun, tantangan tak berhenti. Tidak semua guru memiliki pandangan yang sama terhadap ABK. Belum lagi kendala wali murid normal yang melarang anaknya bergaul dengan ABK.
Di sinilah peran manajemen sekolah menjadi penting. Kami pun tak lelah memberikan pemahaman terhadap guru dan wali murid agar dapat menerima praktik kelas inklusi. Mereka kami libatkan dalam forum dan pelatihan.
Sebab sejatinya, ketidakinginan tadi hampir semuanya disebabkan ketidaktahuan mereka. Ketidaktahuan bahwa hak belajar para anak istimewa itu dapat diakomodasi lewat treatment khusus dalam kelas inklusi.