Dulu dengan mudah kita jumpai penjual satwa dilindungi di pasar-pasar tradisional. Namun sekarang berbeda. Para “pemain” telah beralih menggunakan media sosial.
Perdagangan satwa dilindungi masih perlu mendapat perhatian khusus. Praktik tersebut masih ada di sekitar kita. Hanya saja memang tren penjualannya telah berubah. Dari secara offline menjadi online. Seiring perkembangan teknologi.
Pergeseran tren perdagangan tersebut terjadi hampir di berbagai tempat. Tak terkecuali di Kediri Raya. “Sejak lima sampai tujuh tahun terakhir ini sudah beralih ke media sosial,” ujar Ketua Profauna Indonesia Rosek Nurhadi kepada Jawa Pos Radar Kediri.
Rosek mengatakan bahwa Facebook adalah media sosial yang paling jamak digunakan. Kebanyakan para “pemainnya” tergabung dalam grup-grup tertentu. Namun grup tersebut tidak melulu grup jual-beli. Beberapa ada yang berklamufase sebagai pecinta satwa saja.
Meskipun begitu Rosek mengatakan bahwa hal itu hanya kedok belaka. Pasalnya setiap anggota grup Facebook tersebut sudah paham cara kerjanya. Yaitu setiap unggahan foto atau video hampir bisa dipastikan untuk dijual.
“Si pengunggah memang tidak menuliskan dijual. Kadang hanya sekadar posting biasa. Tapi semua yang ada di grup itu tahu kalau satwa tersebut pasti dijual,” terangnya.
Percakapan transaksi tidak langsung dilakukan di kolom komentar grup. Pembeli akan langsung menghubungi pengunggah. Komunikasi dilakukan secara pribadi. Menghindari kecurigaan dari pihak berwajib.
Setelah harga disepakati maka penjual akan mengirimkan satwa yang dipesan. Itu pun jarang ada yang bertatap muka secara langsung. Kebanyakan menggunakan kurir. Modus tersebut banyak digunakan di kota besar di Jawa Timur. Seperti halnya di Surabaya, Malang, Probolinggo, dan sebagainya.
Khusus di Kota Kediri, Rosek mengakui, masih ada beberapa “pemain” yang berani bertemu langsung saat transaksi. Ia mengatakan hal itu lantaran Profauna bersama pihak berwajib pernah menjebak salah seorang pelaku.
“Sekitar setahun lalu. Saya berpura-pura sebagai pembeli. Lalu saya pancing untuk ketemuan langsung,” bebernya. Karena terbukti melanggar aturan, pelaku tersebut langsung diproses hukum.
Terkait adanya jaringan, Rosek menilai bahwa para pemain antar kota kemungkinan besar tidak saling terkait. Tetapi mereka memiliki hubungan relasi bisnis. Saling mengisi kekosongan ketika ada penjual dari luar kota memintanya.
“Mereka (para penjual satwa dilindungi, Red) bisa saling menjadi makelar. Saling bantu mencarikan satwa yang diminta si pembeli,” sambung Rosek.
Semua hanya soal bisnis belaka. Hukum ekonomi menjadi raja. Terlebih satwa yang dijual mayoritas langka di pasaran. Selain jumlahnya sedikit, statusnya menjadi koleksi pula. Tak ayal harga yang disepakati terkadang tidak ada patokan pastinya.