Pencuri Buku yang Mulia

- Senin, 2 November 2020 | 10:35 WIB

 “HANYA di negara komedi membaca buku dianggap aksi kriminal. Sementara kebohongan yang dilakukan secara rutin tiap ritual lima tahunan dianggap sebagai hal biasa”. Begitu kutipan buku yang dibacanya beberapa bulan lalu. Dari cara membaca buku, terlihat dia memang pembaca buku yang tekun. Aku pertama kali berkenalan dengannya di forum bedah karya sastra. Dia sangat vokal berbicara, terkadang mengutip-ngutip tokoh untuk menguatkan argumennya.

Sudah beberapa kali aku bertemu, setelah menanyakan kabar. Tanpa basa-basi ia langsung menceritakan buku yang baru selesai dibacanya. Kata teman-temannya, “Orangnya memang seperti itu, agar apa yang dibaca tidak lekas lupa. Selain ditulis, diceritakan pada teman ngobrolnya". Tidak hanya membaca, dia juga penulis. Sudah dua buku yang ditulis. “Pembaca dan penulis merupakan sepasang kekasih yang paling romantis sama romantisnya seperti kisah cinta Qais dan Layla”.  Begitu celetuknya. Aku hanya mengangguk sambil pura-pura tersenyum seakan mengerti metafora yang disampaikan.

*

MATAHARI tidak begitu terik. Aku menghubunginya via WhatsApp untuk berkunjung ke tempat tinggalnya, sekadar bercakap-cakap dan meminta rekomendasi buku yang bagus dibaca.

Setelah sejam pesanku baru dibalas.

“Maaf baru bangun," ujarnya dan langsung mengirim alamat lengkapnya.

Aku langsung bergegas menuju alamat tersebut. Sesampainya di sana, ternyata dia sudah menunggu di depan jalan. Rumahnya memang pas depan jalan. Sambil berjalan menuju kamarnya, dia bercerita tentang rumah yang sedang ditempati. Katanya, ini bukan rumahnya tapi rumah keluarga. Kebetulan kosong, jadi dia dan bapaknya yang menempati. Pertama masuk ke kamarnya, aku disambut dengan buku-buku yang tidak tersusun rapi dengan poster-poster berbagai macam muka. Ada satu poster paling besar hampir menutupi setengah dinding kamarnya sebelah kanan dengan pose kepala sedikit miring lalu mengisap sebatang rokok dan bertuliskan mampus kau dikoyak-koyak sepi.

 Seperti biasa, terkadang dia suka menggunakan metafora kalau berbicara. Katanya, “Maaf kamarku agak sedikit berantakan, yang rapi itu hanya pejabat-pejabat negara, penulis atau penyair tidak perlu. Kalau penulis rapi, takutnya dikira pejabat”. Baru beberapa menit kami bercakap-cakap, dia langsung membuatkanku teh. Teh adalah minuman favoritnya, ada beberapa jenis teh di rumahnya. Sambil mengaduk, dia menceritakan sejarah the, mulai Tiongkok, Jepang, Amerika, hingga Indonesia.

 Cara masyarakat Tiongkok menghormati tamu di sana dengan menyajikan teh. Ada sebuah kebiasaan unik. Ketika cangkir diisi teh, tamu akan mengetukkan jari telunjuk dan jari tengahnya yang ditekuk ke meja. Ini dilakukan sebagai tanda penghormatan dan terima kasih kepada tuan rumah yang menyajikan teh. Teh dijadikan sebagai minuman penguat. Kepopuleran teh di Tiongkok mulai berkembang pesat pada abad keempat dan kelima. Teh di Tiongkok mengalami masa keemasan pada masa Dinasti Tang (618-906). Pada masa ini, teh tidak hanya disajikan sekadar minuman penyegar, tetapi dibuatkan upacara.

Setelah menceritakan sejarah teh di Negeri Tirai Bambu itu, dia menyuruhku mempraktikkan orang Tiongkok memberikan teh kepada tamunya. Aku langsung mengikuti, dengan mengetukkan jari telunjuk dan jari tengahku yang ditekuk di atas meja.

Kemudian melanjutkan ceritanya, awal mula teh masuk ke Jepang.

 Orang Jepang mengenal teh dari para pendeta Buddha bernama Dengyo Daishi, yang beberapa tahun tinggal di Tiongkok. Pada 805 kembali ke Jepang dengan membawa bibit pohon teh. Bibit ditanam di halaman kuil Buddha yang merupakan kediamannya. Suatu hari pendeta Dengyo Daishi menyajikan teh dari halamannya kepada kaisar Saga. Setelah meminum teh tersebut, sang kaisar menyukainya lalu memerintahkan seluruh masyarakat Jepang untuk menanam atau membuat perkebunan teh.

 Es teh yang kita kenal dan sering kita beli di angkringan, asalnya dari Amerika. Dulu tahun 1904, di sebuah pameran di St Louis, cuaca begitu terik. Seorang penjual teh yang berasal dari Inggris bernama Richard Blechynden membuat teh dicampur dengan es untuk menarik pengujung ke tempat jualannya. Usahanya tersebut tidak sia-sia, banyak pengunjung yang merasa gerah mampir ke tempatnya untuk membeli minuman dingin agar menyegarkan tenggorokannya. Penemuan Richard Blechynden tersebut membuat teh di Amerika banyak disajikan dengan es.

 

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X